18.Meet Stuck!

3.4K 375 4
                                    


"Jadi pengganti lu masih belum ada?" tanya Nindon.

Aku mengangguk.

"Jadi tetap lanjut pegang dua area itu sekarang?" tanya Mbak Riesta.

Kembali aku mengangguk.

"Dua target sekaligus dong," komentar Lucky, yang dengan izin Tuhan akhirnya bisa bergabung makan siang bersama-sama hari ini. 

"Ya masak gue kasih ke Ilen target gue?" tanyaku ke Lucky, tentu pertanyaan retoris.

"Tapi gila sih kalau Ilen benar nahan proses kandidat-kandidat calon pengganti lu lama banget," ujar Nindon selepas memasukkan sepotong kentang goreng ke mulutnya.

"Mbak Andin nggak mungkin bohong kan, gue lihat sih surel dia ke Ilen," jawabku ragu-ragu, sambil mengingat-ingat surel yang ditunjukkan Mbak Andin kepadaku. 

"Ya nggak lah," sergah Nindon cepat. "Sudah pasti kerjaan Ilen lah nahan-nahan lu biar nggak segera dapat pengganti. Iya kan, Mbak Ries?" tanya Nindon minta dukungan. 

Mbak Riesta tampak berpikir sebentar. Berbeda dengan aku dan Nindon, Mbak Riesta (juga Lucky) bukan seseorang yang mudah terprovokasi. Setiap komentar dan pendapat yang keluar dari mulutnya, pasti sudah dipikirkannya dengan masak-masak.

"Lu kan lihat sendiri waktu itu Mbak," Nindon menyikut Mbak Riesta yang masih terdiam.

"Lihat apa, Mbak?  Nin?" tanyaku penasaran. Melalui ekor mataku, Lucky juga terlihat sama penasarannya denganku. Ia memalingkan perhatiannya dari piring di hadapannya ke arah Nindon dan Mbak Riesta yang duduk bersebelahan.

"Yang sore itu lho Mbak," lanjut Nindon seperti mengingatkan.

"Iya ingat sih, tapi belum yakin deh Ilen sengaja atau tidak," jawab Mbak Riesta ke Nindon. 

"Pasti sengaja lah Mbak, mana mungkin nggak."

Aku dan Lucky hanya bisa bertukar pandang melihat mereka berdua bertukar cerita yang kami tak paham. 

"Jadi sore itu tuh gue dan Mbak Riesta lihat Ilen lagi wawancara beberapa kandidat, kita sih curiganya untuk pengganti lu di regional. Ada kali empat orang," tak tahan juga akhirnya Nindon bercerita.

"Terus?" tanyaku tak sabar.

"Kandidatnya itu nunggu sampai sore, padahal dipanggil sekitar jam satu siang. Akhirnya banyak yang nggak bisa nunggu lama dan pulang. Gue tahu karena resepsionis cerita. Mereka nunggu Ilen lama banget. Pas Ilen datang mau wawancara, sudah pada pulang lah."

"Yang benar?" tanyaku tak mampu berkomentar lagi.

"Sepertinya Ilen sama Andin miskomunikasi jadwal deh, karena Ilen kan jarang bisa wawancara selepas makan siang. Waktu kosong dia itu baru di atas jam empat sore," kali ini Mbak Riesta yang urun pendapat. 

"Ih Mbak, lu masih bela dia saja deh. Jelas-jelas dia sendiri yang membiarkan kandidat itu nunggu lama. Mana ada yang mau-maunya nunggu empat jam lebih buat wawancara kali. Apalagi ini kan professional hire* semua," sergah Nindon lagi, lengkap dengan mata mendelik dan bibir mengerucut.

"Bisa jadi Mbak Riesta benar. Ilen nggak pernah bisa wawancara selepas makan siang," kali ini Lucky yang mencoba mendukung pernyataan Mbak Riesta.

"Aduh, apapun deh ya. Faktanya, Leta sampai sekarang belum juga punya calon pengganti kerjaannya. Gue, dan lu juga sih Mbak Ries, lihat sendiri Ilen menyia-nyiakan kandidat seperti itu dan sesuai informasi tambahan Andin, masih ada lagi kandidat lain yang ketahan di Ilen. Sudah jelas lah dia sengaja biar Leta nggak dapat-dapat pengganti," tutur Nindon berapi-api.

"Tapi apa tujuannya coba?" tanyaku bingung. Apa juga untungnya Ilen menahan-nahan calon penggantiku masuk. Bukankah dia juga yang rugi kalau aku tidak juga mencapai target.

"Gue belum tahu pasti sih motif Ilen. Tapi gue yakin banget dia nggak suka sama lu," tutup Nindon sambil memanggil pelayan untuk meminta tagihan makan siang kami.

Nindon memang suka membuat kesimpulan ajaib, tapi entah mengapa, kali ini perasaanku bilang kesimpulannya mungkin benar.

***

*professional hire: kandidat yang telah memiliki pengalaman kerja cukup banyak (bukan fresh graduate) 



Recruiter Lyfe - (TAMAT)Where stories live. Discover now