26.Meet Resignation!

3.2K 357 0
                                    


Aku baru saja sampai di meja kerjaku, meletakkan tas selempang dan jaketku di kursi, ketika seseorang tiba-tiba saja menepukkan tangannya di pundakku.

"Astaga, kaget tahu!" jeritku tertahan setelah memutar tubuh dan menemukan Nindon di belakangku. 

"Doa lu terkabul," ujar Nindon tak peduli dengan kekagetanku. Di balik Nindon, aku melihat Mbak Riesta menyusul memasuki ruangan Sales Recruitment. Sepertinya mereka berdua baru saja kembali dari sarapan di kantin. 

"Doa yang mana?" tanyaku heran. Sepertinya aku tidak punya kemauan yang sangat ingin diwujudkan dalam waktu dekat ini, pikirku sambil mengingat-ingat daftar keinginan yang ada. 

"Lista resign," jawab Nindon pendek.

"Hah? Resign? Yang benar?" pekikku. 

"Iya, tadi gue dan Mbak Riesta habis sarapan di kantin dan nggak sengaja ketemu Andin. Dia cerita lagi rekrut Sales Recruiter baru pengganti Lista."

"Belum sebulan kan dia masuk, benar-benar nggak tahan banting banget."

"Senang kan lu?" tanya Nindon menyebalkan dengan menaikkan tautan kedua alisnya.

"Senang bagaimana? Makin lama dong gue dan Lucky kerja rodi kayak sekarang rangkap-rangkap kanan kiri," gerutuku.

"Tapi kata Nindon kamu sebal banget sama Lista, Let," kali ini Mbak Riesta angkat bicara dari tempat duduknya. Entah kapan dia sampai di meja kerjanya aku pun tak sadar.

"Sebal kan bukan berarti ingin dia resign, Mbak. Memang sih adaptasinya lama, tapi belum juga sebulan kan. Lebih parah lagi kalau gue harus nunggu penggantinya, kemudian adaptasi lagi. Kayak lingkaran setan saja," keluhku sambil membenamkan kepala di antara kedua telapak tanganku. 

"Kenapa ya dia resign?" lanjut Mbak Riesta.

"Tanya saja langsung. Tuh anaknya datang," ujar Nindon menunjuk ke arah pintu masuk. Sontak pandanganku dan Mbak Riesta mengarah ke ujung jari Nindon. Benar saja, Lista baru saja datang dengan muka memerah seperti habis berlari beberapa kilometer. 

"Ta, sini Ta," teriak Nindon melambaikan tangannya ke arah Lista.

Lista tampak bingung melihat panggilan Nindon. Tentu saja aku paham, selama ini Lista lebih banyak berinteraksi dengan aku dan Lucky, dan mungkin beberapa kali saja dengan Ilen. Dia pasti heran tiba-tiba saja ada senior lain memanggilnya. 

"Eh, kenapa Mbak Nina?" tanya Lista mendekati area kerja kami dengan memanggil nama asli Nindon.

"Lu mau resign?" tanya Nindon tanpa basa-basi.

"Eh," Lista tampak kaget, mukanya semakin memerah dan tampak salah tingkah. Aku jadi kasihan padanya. 

"Apakah ada yang membuat kamu nggak happy di sini? Mungkin aku ada salah atau apa?" tanyaku mencoba menenangkannya.

"Eh, bukan Mbak Leta. Ini nggak terkait Mbak Leta, kok," jawab Lista cepat. "Aku hanya nggak enak lambat sekali mengikuti tempo teman-teman di sini. Jadi daripada memperlambat, lebih baik aku mengundurkan diri."

"Kamu tahu kan belum juga sebulan kamu kerja di sini? Masih masa adaptasi, makanya probation itu tiga bulan. Kamu nggak ingin membuktikan pada orangtuamu kalau kamu bisa bekerja dengan baik?" lanjutku teringat dengan informasi dari Nindon, terkait orangtua Lista yang merupakan dosennya Ilen.

Lista tampak terdiam, sepertinya mencerna perkataanku. 

"Kami di sini siap membantu kapan saja. Kamu memang di bawah asuhan Leta dan Lucky, tapi kapan saja membutuhkan support lain, aku dan Nindon, bahkan Mabeth siap membantu lho," tambah Mbak Riesta dengan senyumnya, yang menurutku, selalu mampu memberikan ketenangan. 

Lista tampak menitikkan air mata dan membuat kami bertiga panik seketika. Mbak Riesta cepat-cepat menyodorkan tisu, sementara Nindon mengelus-elus pundak Lista dan aku mencoba menenangkannya dengan menawarkan minum. Tidak banyak membantu memang, tapi aku bingung apa yang harus dilakukan untuk menenangkan seseorang yang tengah menangis. 

Sambil tersenyum, Lista berkata lirih, "Terima kasih ya, aku coba bicara dengan Mbak Ilen untuk menarik surat resign-ku."

Aku tersenyum. Lega karena tidak jadi kehilangan rekan kerja (kembali).

***

Recruiter Lyfe - (TAMAT)Where stories live. Discover now