18. Kehilangan

91.4K 7.9K 528
                                    

“Cepat sembuh, Altar. Ini Ayah, sekarang Ayah ada di sini, sayang. Ayah janji nggak akan pernah pergi dari kamu,” batin Regi yang kini berdiri di depan pintu ruang rawat Altar, anaknya itu sudah dipindahkan. Untung saja, luka Altar tidak terlalu parah, tidak ada luka dalam juga. 

Sekarang ia hanya bisa melihat Altar melalui kaca pintu, sedangkan Ayanna berada di dalam, menemani Altar yang belum terbangun. Semua sahabat Regi juga masih berada di sana, padahal tadi Ayanna sudah meminta mereka untuk pulang. Namun, tak ada dari mereka yang mau pulang, karena mereka takut Regi berbuat macam-macam ketika masih berada di sana.

“Pura-pura bego, tapi ternyata bego beneran,” sindir Zivan yang memecahkan keheningan di antara mereka. “Bego, kok, dipelihara. Di pikir ikan kali,” lanjutnya dengan nada suara yang dingin..

“Bang Zivan marah atau ngelawak, sih?” bisik Aldi pada Sandy. 

“Dua-duanya kali,” balas Sandy.

“Ngeri juga Bang Zivan kalau lagi ngelawak, bisa bikin kena mental orang yang dengernya,” gumam Aldi.

“Banyak banget lagi yang dipelihara, udah bego, berengsek, sampai kebajingannya aja ikut dipelihara.” Lagi, Zivan kembali mengeluarkan sindiran pedasnya untuk Regi. Tetapi, Regi tidak membalas apa pun, ia tahu semua sahabatnya kecewa padanya, dan ia akan terima itu.

“Udah, Bang,” ucap Azka, ia tak ingin ada keributan. Apalagi, mereka sedang berada di rumah sakit. Cukup tadi saja mereka membuat keributan.

“Kesel aja gue, dibegoin sama orang bego. Bertahun-tahun, lho, kita semua dibohongin sama orang bego macam dia.”

“Iya, gue tau. Dia udah dapat penyesalannya, Bang. Jadi, udah, kita nggak usah ikut campur terlalu banyak.”

Regi menghela napasnya berat, beban yang ia pikul masih terlalu banyak. Dan, ia sudah lelah, setelah ini ia tak tahu harus apa. Ayanna masih marah padanya, sekalipun tadi ia sudah minta maaf berkali-kali. Kesalahannya memang sangat fatal, tak bisa diperbaiki hanya dengan permintaan maaf. 

"Ya Allah ... ampuni aku yang selalu berbuat dosa kepada-Mu, ampuni aku yang begitu jauh dengan-Mu, ampuni aku yang selalu melalaikan kewajibanku untuk beribadah kepada-Mu. Ampuni aku Ya Allah. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua yang telah aku hancurkan, beri aku kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik, beri aku kesempatan untuk bisa membahagiakan mereka,” batin Regi, air matanya kembali menetes. Dadanya terasa sangat sesak, ia sangat menyesal atas semua perbuatannya.

“Pak Regi.” 

Dengan cepat Regi menghapus air matanya, lalu mengalihkan pandangannya pada seseorang yang baru saja memanggilnya. Ia menghampirinya dengan perasaan khawatir, sedangkan para sahabatnya kebingungan. Mereka tak mengenali orang yang memanggil Regi barusan.

---

Ayanna menggenggam erat tangan mungil Altar yang bebas dari infusan, ia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Altar. Kalau saja tadi ia lebih cepat larinya, mungkin Altar tak akan terserempet motor hingga jatuh dan kepalanya terbentur.

“Raga ... bangun, sayang.” Ayanna menciumi punggung tangan Altar, ia sangat menyayangi putranya. 

“Ayah,” sebut Altar tiba-tiba masih dengan kedua mata yang terpejam. Membuat Ayanna terdiam, haruskah saat pertama kali Altar bangun yang disebutnya itu adalah kata Ayah? Padahal, selama ini yang selalu bersama Altar adalah dirinya. Tetapi, kenapa putranya itu masih ingin bertemu sang Ayah yang jelas-jelas tak pernah diketahui rupanya. 

“Bunda.” 

Ayanna tersadar dari keterdiamannya, lalu menatap Altar yang kini melihat ke arahnya. Senyumnya mengembang, lalu ia berkata, “Alhamdulillah, kamu udah bangun. Kepalanya sakit nggak? Atau di mana yang sakit? Biar Bunda panggil dokter buat periksa, Raga.”

Altar >< Altarik ✓Where stories live. Discover now