22. Tinggal bersama?

93.5K 7.8K 684
                                    

Regi menghentikan mobilnya saat sudah sampai di depan gang yang biasa ia lalui jika hendak ke rumah Altar. Akhirnya sekarang Altar sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Regi langsung mengantar Ayanna dan Altar untuk pulang ke rumah, setelah menyelesaikan semua urusannya di rumah sakit.

Ia keluar lebih dulu dari mobilnya, lalu berjalan mengitari mobil untuk membantu Ayanna membuka pintu mobilnya. “Sini, biar aku aja yang gendong Altar,” ucapnya setelah perempuan itu keluar dari mobil, dan menutup kembali pintu mobilnya. Sedari tadi Altar memang ketiduran saat di perjalanan.

Ayanna pun memberikan Altar pada Regi, lalu ia beralih mengambil tas jinjing yang berisi pakaian, Altar dan juga dirinya selama di rumah sakit. Setelah itu, barulah mereka berjalan masuk ke gang untuk ke rumah yang selama ini Ayanna tempati.

Tak perlu lama untuk sampai, hanya lima menit saja mereka sampai di halaman rumah Ayanna yang cukup luas. Dahi mereka mengernyit saat melihat seorang wanita paruh baya yang bertubuh gemuk, berada di depan pintu rumah Ayanna.

“Assalamualaikum, tumben mampir, ada apa ya, Bu?” tanya Ayanna, tidak biasanya wanita paruh baya itu datang ke sana, jika tidak ada perlu.

“Waalaikum salam. Ini, ada yang mau saya sampaikan sama Mbak Aya,” jawab Ibu itu, membuat dahi Ayanna semakin mengernyit. “Aduh gimana, ya, ngomongnya? Emmm ... Gini Mbak Aya, saya ke sini mau nyampein, kalau Mbak Aya harus kosongin rumah ini sekarang juga,” lanjutnya.

“Maksud Ibu gimana, ya? Kenapa saya harus kosongin rumah ini? Kan, saya sudah bayar uang kontrakannya sampai bulan depan, Bu,” ujar Ayanna, memang rumah itu bukanlah rumahnya. Ia hanya mengontrak saja, karena belum memiliki uang untuk membeli rumah sendiri.

“Iya, Ibu minta maaf, ya, Mbak Aya. Rumah ini sudah terjual empat hari lalu, tadinya Ibu mau kasih tau Mbak Aya sebelum rumah ini terjual. Tapi, Mbak Aya nggak ada di rumah terus. Makanya terpaksa saya dadakan seperti ini kasih taunya, besok saya sudah mau pindah ke Semarang, Mbak. Jadi, rumah ini saya jual sama orang, karena saya nggak akan balik lagi ke sini,” jelas Ibu itu panjang lebar.

“Apa harus sekarang kosonginnya, Bu? Saya belum nyari kontrakan baru soalnya.”

“Iya, Mbak. Soalnya rumah ini bukan milik saya lagi, jadi saya mohon maaf banget sama, Mbak Aya.” Ayanna menghela napasnya berat, mencari kontrakan dengan harga murah tidak terlalu mudah untuk didapatkan. Apalagi, Ayanna tidak memiliki waktu untuk mencari kontrakan.

“Ya, udah, Bu. Nggak apa-apa,” ucap Ayanna mengalah.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Mbak Aya. Nanti kunci rumahnya tolong antar ke rumah saya, ya, dan ini uang Mbak Aya saya kembalikan,” ujarnya, sambil memberikan tiga lembar uang seratus ribuan pada Ayanna. Setelah itu, barulah Ibu paruh baya itu meninggalkan mereka.

Regi yang sedari tadi hanya mendengarkan mulai paham sekarang, ia pikir rumah itu memang rumah Ayanna. Tetapi, ternyata bukan. Dulu, saat pacaran dengan Ayanna ia memang tak pernah datang ke rumah Ayanna sekalipun. Mereka backstreet saat pacaran, karena ia kira Ayanna memang adik Julian dulu. Setiap kali pergi bersama Ayanna, Regi selalu mengajak ke rumahnya. Jadi, saat ia mencari Ayanna selama ini, Regi kesusahan karena tidak tahu tempat tinggal perempuan itu.

“Kamu dan Altar tinggal di rumah aku aja,” kata Regi, saat melihat wajah kebingungan Ayanna.

Ayanna menoleh ke arah Regi yang kembali mengajaknya untuk tinggal di rumahnya. “Aku nggak bisa tinggal di rumah kamu,” ujarnya.

“Kenapa, sih, kamu nolak terus aku ajak tinggal di rumah aku?” 

“Bukannya nolak, tapi aku nggak bisa tinggal di rumah kamu. Nanti apa kata tetangga kamu, ada perempuan beranak satu yang tinggal di rumah kamu? Mereka pasti ngomongin yang nggak-nggak tentang kita,” jelas Ayanna membuat Regi berdecak.

Altar >< Altarik ✓Where stories live. Discover now