04| Bad Feeling

64 10 0
                                    

ERZANIO

"Yaelah si Rodriguez, ke kiri dikit gob—HALAH BEGOOO!"

Seperti biasa, Kara nyaris meremukkan dualshock-nya sendiri setiap pergerakan Jese Rodriguez dihentikan oleh tangan lihai Orlan melalui Alessio Romagnoli. Gue nggak tau apakah ada bagian otak Kara yang rusak—karena diantara kita semua, hanya Kara yang suka berisik setiap match PES atau war RO 2.

Gue lebih nggak mengertu kenapa Orlan bisa betah menjadi lawan setia yang siap meladeni keberisikan Kara—walau harus diakui, skill bermain Kara cukup mengagumkan. Tetapi karena gue bukan Orlan, gue nggak akan tahan untuk nge-game bersama Kara dalam satu tempat selama berjam-jam. Pernah sekali saking kesalnya, gue nge-kick Kara dari Guild³—yang kemudian membuat kami berempat harus mendengar wejangan panjang-lebar dari Kara soal 'kesetiakawanan' dan semacamnya selama tiga hari berturut-turut.

Ck, Kara emang begitu.

"Yah cuma menang 2-1." Kalimatnya sih boleh merendah, tapi nada bicaranya itu loh... benar-benar jumawa. Tangan gue bergerak untuk melempari wajah Kara dengan cabai rawit yang gue ambil dari nampan gorengan. "Apaan sih!"

"Merendah untuk meroket. Basi." Gue mencibir, tapi nampaknya Kara menganggapnya sebagai sebuah pujian. "Mending lo mulai mikir gimana caranya semester depan nggak di tendang karena Psikometri lo dapat D."

"Halah bacot. Hafalin dulu tuh susunan saraf kranial biar bisa lolos dari jeratan Bu Cony." Kara ini memang hasil persilangan ular kobra dengan manusia kali, ya? Mulutnya berbisa, jago banget membalikkan omongan orang.

"Kan gue mau kelar bareng sama lo. Ngulur setahun-dua tahun sih nggak masalah kali."

Gue nggak tahu apa yang salah dengan omongan gue barusan, namun Kara langsung memukul kepala gue dengan gagang dualshock-nya. "Buset, mulut lo bernyali juga! Kalau malaikat dengar terus iseng kabulin doa lo, gimana? Bisa dicoret nama gue dari kartu keluarga kalau sampai telat lulus!"

Gue baru akan membalas Kara ketika kembali merasakan sebuah pukulan di sisi lain kepala gue. Ya Tuhan, pantas aja gue bego banget sampai harus mengulang mata kuliah Bu Cony dua kali. Setiap hari kepala gue jadi sasaran pukul melulu sama manusia-manusia bedebah ini.

"Geser."

Regi mendorong bahu gue, kemudian menyalakan rokoknya. Manusia ini nggak akan pernah jera walaupun sering ke-gap ketika sedang merokok oleh wakil rektor di area kampus yang seharusnya bebas asap rokok. Entah karena Regi menganggap kampus ini punya nenek moyangnya, atau otak Regi sudah terlanjur terkontaminasi zat nikotin yang mematikan dalam jumlah banyak sehingga otaknya jadi sebebal ini sekalipun sudah sering diperingatkan oleh orang-orang di sekitarnya.

"Bukannya kelas lo udah kelar, Gi? Tumbenan amat lo mampir ke sini." Orlan bertanya, sementara jari dan matanya bekerjasama mengatur susunan pemain untuk pertandingan selanjutnya.

"Mau cuci mata," Regi menjawab asal sembari mengepulkan cincin asapnya ke udara. Berani jamin, Machela akan mematahkan seisi kotak rokok milik Regi kalau sampai cewek itu lihat dengan mata kepalanya sendiri. "Btw, gue ada kabar bagus nih buat Erza."

Mata gue langsung berbinaran. "Apa? Lo mau ngasih gue tiket konser Coldplay?"

Mendengus, Regi justru mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan menjawab pertanyaan gue setelah dia mengusap layarnya, untuk kemudian menyodorkan benda itu kepada gue.

"Namanya Lentera Syafara, anak Psikologi juga. Cantik, nggak?" Sambil menyeringai, Regi menjelaskan tanpa basa-basi. Gue mencermati potret seorang cewek yang tengah berpose di antara hamparan langit biru dengan lebih saksama. Dari belakang cantik, tapi nggak tahu kalau dari depan. "Seriusan anak Psikologi? Perasaan gue belum pernah lihat?"

RWhere stories live. Discover now