25| Plan

43 4 0
                                    

MACHELA

Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan terhadap dirinya sendiri.

Kesalahan yang pernah gue lakukan kepada diri sendiri ialah merasa nggak cukup sempurna untuk dicintai oleh orang-orang di sekitar gue—sehingga dengan bodohnya, gue malah membangun tembok tinggi yang mengisolasi gue dari lingkungan sekitar. Hal itu pula yang kemudian mengubah cara gue memandang dunia.

Namun setelah menginjakkan kaki di sini, gue sadar kalau apa yang selama ini gue pikirkan ternyata salah besar.

Tanpa keluarga, tanpa apapun yang bisa dibanggakan, di sini gue diterima dengan begitu hangat. Dimulai saat hari pertama menginjakkan kaki di negara ini, orang-orang di KBRI dengan sukarela membantu gue. Bahkan sampai saat ini, mereka lah keluarga baru yang akhirnya mengajarkan bahwa kebersamaan yang membuat seseorang sempurna, bukan seseorang harus sempurna untuk bersama seseorang.

"Aduuuuh, datangnya berduaan terus. Kapan mau dilegalin Nyonya Alderado-nya?"

Gue terkekeh pelan ketika mendengar kelakar yang selalu Panca lancarkan tiap kali bertemu gue dan Gema. Dia Panca Abhimana, salah satu orang baik yang sudah gue anggap seperti keluarga. Orang baik yang juga menemukan gue kebingungan di bandara pada hari pertama tiba di negara ini. Orang baik yang membawa gue ke KBRI. Orang baik yang akhirnya membuat gue bertemu Gema, orang baik lainnya yang diutus takdir untuk kembali mengambil peran dalam kehidupan gue.

"Duluan aja. Kasihan tunangan lo ditinggal-tinggal terus ke Indonesia." Dan Gema selalu membalas kelakar cowok berambut merah itu dengan kalimat yang sama.

"Namanya juga cari modal, Kak. Sewa gedung resepsi tuh sekarang mahal." Panca menjawab sambil merangkul cewek yang duduk di sebelahnya—yang tidak lain adalah pacarnya.

Lalu tiba-tiba, Ansel muncul dan memukul kepala Panca dengan alat pencapit. "Emang elonya aja masih suka tebar pesona!"

"Jomblo mending jangan ikutan komentar. Emangnya lo ngerti?"

"Merde!" Ansel mendengus, lantas beralih menatap gue. "Dari pada ladenin Panca yang nggak jelas bentukannya, mending bantuin gue."

"Jangan hancurin dapur gue!" Panca berseru ketika gue akhirnya memisahkan diri dari Gema untuk mengikuti Ansel.

Flat Panca dijadikan basecamp oleh orang-orang yang tergabung dalam perkumpulan orang Indonesia yang bermukim di Bolougne-Billancourt dan sekitarnya. Setiap akhir pekan di minggu ketiga, orang-orang ini akan rutin berkumpul untuk temu kangen sembari menikmati masakan Indonesia yang disiapkan Ansel. Rasanya nggak terlalu buruk, walaupun mungkin masih kalah jauh jika disandingkan dengan masakan Chef Juna.

"Hari ini mau masak apa, Sel?" Tanya gue begitu kami sampai di dapur.

"Sate macan. Kata Kak Gema, itu makanan favorit lo."

Gue tertawa. "It's taichan!"

"Ah, iya iya. Taichan. Ribet banget sih namanya?" Ansel berdecak, lantas tangan lihainya dengan cekatan memainkan pisau dan dada ayam. Selama Ansel belum memberi instruksi, gue nggak berani menyentuh apapun. Dia maniak kebersihan, sedangkan dia bilang, gue orang yang ceroboh dan berantakan. Pernah sekali gue berinisiatif membantu dia menyiapkan makan malam dan gue berakhir dimarahi karena nggak sengaja menyenggol mangkuk berisi saus waffle-nya sampai tumpah. Maka dari itu, lebih baik main aman di dapur Ansel dengan menjadi asisten yang hanya bekerja setelah menerima instruksi.

"Machel,"

"Hm?"

Ansel mendorong semangkuk cabai kehadapan gue. "Udah berapa lama kalian kenal?"

RWhere stories live. Discover now