30| Deja Vu

48 3 0
                                    

ERZANIO

Di luar hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di luar hujan.

Gue sadar bahwa orang-orang yang gue lewati menatap dengan heran. Mungkin mereka bingung karena penampilan gue saat ini terlihat seperti tunawisma yang membutuhkan tempat berteduh. Tapi bukannya peduli, gue justru membiarkan diri gue terseret pusaran deja vu yang sengaja diciptakan oleh takdir untuk gue. Screw that thing called deja vu.

Gue.

Rumah sakit.

Machela.

Ya, semua ini... it feels like deja vu. Gue seperti dilempar kembali pada insiden kecelakaan Machela beberapa tahun lalu.

Gue memasuki ruang rawat Machela, untuk kemudian menemukan tubuhnya terbaring membelakangi pintu. Tetapi nggak seperti dulu, Machela hanya bergeming. Alih-alih memanggil suster seperti dulu, gue justru mendengar isakan Machela yang nyaris tersamarkan oleh pergerakan jarum jam.

Dan kalau dulu gue bisa menggumamkan, "Dasar jabrah," dengan mudah, tetapi kenapa kali ini lidah gue terasa kelu? Semua kalimat yang sengaja gue rangkai selama ini hanya tertahan di dalam kepala gue—mengendap di sana bagai sebuah material yang terlalu lama disimpan.

Everything still unbelievable. To finally find her is still unbelievable.

Lalu ketika tubuh itu berbalik dengan sendirinya, gue refleks menahan napas.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Bahkan bermenit-menit terlewati dan kita masih saling tatap tanpa bersuara. Pikiran gue dibuat kosong oleh sorotnya yang semakin dalam. Selama bertahun-tahun gue hanya bisa membayangkan wajahnya dengan dada yang disesaki oleh kesakitan, namun hari ini, detik ini, dia benar-benar ada dihadapan gue dalam bentuk nyata—bukan lagi sekadar foto atau imajinasi dalam kepala.

"E-Erza..."

"Jangan," sergah gue ketika dia berusaha duduk. "Jangan bangun."

Gue masih berdiri di tempat yang sama tanpa berniat mendekat. Karena gue takut ketika gue mendekat, dia yang sekarang gue lihat hanyalah oase yang akan hilang dalam sekejap mata.

Gue nggak siap kehilangan dia. Lagi.

"How are you?" tanya gue dalam suara yang sebisa mungkin gue jaga supaya tetap tenang. "Did your life fine enough without me? Because mine is never."

Satu pertanyaan berhasil gue lontarkan dengan sempurna. Namun jawaban yang gue tunggu bahkan nggak kunjung datang karena Machela hanya bergeming dengan jejak-jejak air mata di pipinya.

"No,"

Gue mendengar secercah harapan.

"It's none of your bussiness."

RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang