19| Confession

45 4 0
                                    


MACHELA

Waktu gue kecil, Bunda pernah bilang kalau jingga yang terhampar ketika senja menyapa merupakan episode langit paling indah yang diciptakan oleh Tuhan. Karena jingga membuat langit terlihat lebih hidup dibanding langit siang ataupun langit malam. Cahayanya tidak terlalu terang ataupun gelap, namun sanggup membawa gue kepada peristiwa di senja lainnya.

Senja di mana Erzanio Ganendra akhirnya mengetahui sesuatu yang seharusnya nggak pernah dia ketahui.

Masih teringat dengan jelas bagaimana sorot mata Erza saat dia menatap gue untuk terakhir kalinya kala senja itu. Tatapan terdingin yang pernah gue temukan dari seseorang yang biasanya selalu bertingkah konyol dan membuat gue tertawa. Saat itulah gue mengerti sejauh mana kesalahan yang gue perbuat.

Terlalu jauh, hingga mungkin nggak termaafkan.

Memang semuanya salah gue, kan? Seandainya gue nggak memiliki perasaan lebih dari sahabat untuk dia, mungkin gue nggak perlu bertindak konyol dan justru menempatkan dia pada posisi sulit. Gue mungkin lupa dengan posisi gue sehingga terkesan terlalu mencampuri kehidupan Erza. Memangnya gue siapa, sih?

Sadar, Cel. Lo cuma sahabatnya.

Dan ketika kepala gue terangkat hanya untuk menatap langit sore ini, gue teringat lagi dengan ucapan Bunda—lantas pada detik selanjutnya, gue merasa berdosa karena telah menodai keindahan ciptaan-Nya dengan membuat senja mengiringi sendu yang tengah merengkuh gue. Gue merasa menjadi mahluk paling nggak bersyukur dengan membuat indahnya naungan jingga yang menghampar di langit menjadi kelabu.

Sialan. Kenapa sisi melankolis gue jadi mendominasi begini, sih?

Akhirnya gue memutuskan berhenti menikmati senja dengan memasuki venue konser bersama Gema seraya meyakinkan diri sendiri untuk menikmati kejutan kecil yang diberikan Gema hari ini untuk gue.

Well, entah Gema punya ide dari mana untuk tiba-tiba memberi gue tiket konser tunggal Taeyang di Jakarta. Padahal gue nggak punya niat untuk menghadiri konser ini, mengingat bulan-bulan ini gue harus memperjuangkan sidang gue. I love Taeyang, but study always come first.

Namun Gema lagi-lagi memaksa gue untuk datang dengan kalimat andalannya: "Teori Henry Murray, dua puluh kebutuhan manusia. Salah satunya bersenang-senang. Ayo, teori harus dipraktekin biar terbukti kebenarannya."

Dan, ya. Here we are.

Kita nggak hanya berdua karena Kara dan Alma turut serta. Ternyata Alma juga yang membantu Gema mendapatkan tiket konser lewat Kara. Dengan usaha yang sudah seniat ini, siapa yang tega menolak Gema?

"You look so sad these two past day." Lalu bisikan Gema memberai lamunan gue. "Enjoy your lovely Taeyang, okay? Susah nih cari tiketnya, awas aja lo nggak senang-senang selama konser."

I hope so, Gema.

Tapi nggak bisa.

Bohong kalau gue nggak ikut nge-hype bersama ribuan fans yang hadir. Namun selalu ada yang menahan gue untuk sepenuhnya tenggelam dalam euforia yang menguar di dalam venue. Ingatan gue selalu tertuju kepada seseorang yang selama ini selalu mencibir Taeyang, namun nggak pernah berhenti berkhayal bodoh jika suatu saat Taeyang akan menggelar konser duetnya bersama Coldplay.

Bahkan hingga Taeyang kembali ke backstage dan konsernya selesai, gue masih nggak bisa merasakan apa yang disebut 'senang-senang'.

"Mau langsung pulang?" tanya Gema saat kita berdua sudah ada di dalam mobilnya.

"Emangnya mau kemana lagi?"

"Cari angin? Gue belum mau pulang."

Gue menggeleng. "Nggak, ah. Takut diculik pocong nih cari angin malam-malam."

ROnde histórias criam vida. Descubra agora