14| First Time

36 6 0
                                    

MACHELA

I'm fully fine right now.

Mungkin setelah mati nanti, gue akan langsung di lempar ke neraka karena terlalu banyak berbohong.

Ternyata sekadar bicara memang semudah ini, ya? Kalau Erza bilang, tukang obat di pinggir jalan juga bisa. Tapi... menerapkan apa yang kita bicarakan ini yang agak susah. Bahkan gue sendiri masih gagal mewujudkan kalimat yang gue lontarkan kepada Ladisha beberapa hari lalu. Semuanya nggak semudah saat mengatakannya, sumpah! Saat ini gue hanya bisa menangis di bawah selimut. Sendirian pula.

Gue nggak mengerti kenapa semuanya jadi seperti ini. It's been a very long time. Seharusnya gue sudah baik-baik aja, kan?

Kenapa di saat semuanya hampir kembali seperti semula, takdir justru membawa dia datang lagi? Apa Tuhan benar-benar membenci gue sehingga Dia nggak mengizinkan gue untuk hidup tenang tanpa harus bertemu dengan orang itu lagi?

Astaga. Sebenarnya gue nggak pernah suka drama-dramaan begini. Masanya sudah habis. Setahun berlalu, seharusnya gue bisa- mengabaikan Dino dan mulai memikirkan apa yang ingin gue lakukan untuk melanjutkan hidup. Menata apapun yang sempat berantakan.

Iya, seharusnya begitu.

Tetapi yang 'begitu' akan jadi teramat sulit karena... Dino adalah yang pertama buat gue.

Cinta pertama.

Ciuman pertama.

Patah hati pertama.

Dan semua yang pertama akan selalu meninggalkan kesan yang mendalam, kan?

Entah sudah berapa jam gue menghabiskan waktu untuk menangis. Mungkin saat ini bola mata gue membengkak sebesar bola tenis. Tetapi air mata gue rasanya belum mau berhenti keluar. Bayangan Dino di masa lalu—dan juga masa sekarang—membuat gue semakin membenci diri gue sendiri.

Kenapa?

Kenapa gue pernah mencintai seseorang yang sama sekali nggak menghargai gue?

"Gue butuh sosok wanita yang lebih baik. Dan orangnya bukan lo."

Dino benar. I'm not that perfect to be with him. Gue nggak secantik cewek itu. Gue juga nggak sekeren cewek itu. Gue hanyalah gue, cewek dengan segudang sifat aneh yang seringkali membuat orang-orang di sekitar gue kewalahan.

But why, why don't you thinking about my imperfection before you decided to did confessed?

Why don't you just ran away without made me love you?

Dan, ya. Gue membenci Dino sebanyak gue membenci diri gue sendiri.

Orlando is calling...

Tanpa sengaja gue melirik ponsel yang sejak tadi hanya tergeletak di atas nakas. Gue langsung berhenti menangis karena bingung, kenapa sekarang Orlan ikut-ikutan menelepon gue?

"Kenapa?" Karena ini Orlan, bukan Gema yang sejak dua hari lalu tetap bersikeras menelepon walaupun nggak pernah gue jawab, gue pikir nggak ada alasan untuk mengabaikannya.

"I have some question for you."

"Setengah dua belas malam, dan gue bakal matiin teleponnya kalau lo mau nanya hal yang ngg—"

"Gue mau nanya soal pembahasan Terapi Rekonstruktif."

Gue menghela napas lega. Cuma materi kuliah ternyata. "Go ahead."

"Tapi gue suka nggak masuk kalo dijelasin via telepon gini."

"Ya udah, bes—"

"Gue di depan apartemen lo. Bukain, dong. Gue juga bawa sate padang nih."

RWhere stories live. Discover now