34| About Them

50 4 7
                                    

ORLANDO

"Ada titipan dari Pak Erza. Saya sudah taruh di meja Bapak."

Mendengar ucapan asisten gue, sudut bibir gue refleks tertarik ke atas—tersenyum lega.

Akhirnya...

Setelah melalui perjalanan yang teramat panjang—yang tentunya hampir delapan puluh persen diisi dengan kebodohan, akhirnya kisah mereka menemukan babak baru. Gue lega, karena itu artinya, gue bisa melihat dua sahabat gue berhenti saling menyakiti untuk waktu yang lama.

Ah, gue harap untuk selamanya.

Kenapa sih gue berharap begitu?

Yah, gue mengenal Erza. Walaupun kita sudah berteman sejak jaman masih dibodoh-bodohi senior sampai bisa jadi senior yang membodoh-bodohi, dia sudah menjadi salah satu orang yang mendapat tempat spesial di hidup gue. Sahabat, what's people named us. Walau nyatanya, dia lebih dari itu.

Erza... walaupun agak menyebalkan dan punya tingkat kepercayaan diri setinggi singgasana Dewa Zeus, tetapi dia punya hati yang begitu baik. Dia tipikal orang dengan loyalitas di atas rata-rata—entah itu kepada sahabatnya, maupun kepada orang yang dicintainya.

And, not to mention, he had a hard life these past five years. I think he deserves this.

He deserves his life.

Dan ketika gue bicara soal hidup Erza, kita memang sedang membicarakan soal Machela.

Sama seperti gue mengenal Erza, gue juga mengenal Machela dengan cukup baik. Bedanya, kalau pikiran Erza sangat mudah ditebak, Machela merupakan paradoksnya. Kalau boleh pinjam perumpamaan Regi, pikiran Machela itu serupa dengan gunung es. Apa yang bisa lo ketahui hanya sebatas permukaannya saja. Nggak ada yang benar-benar bisa memahami isi kepala cewek itu secara keseluruhan.

Yah, walau begitu, ada satu orang yang selalu bersedia mengerahkan semua yang ia miliki untuk memahami.

Machela wasn't a lovely person at first impression. Dia nggak banyak bicara—membuat orang-orang yang baru pertama kali berinteraksi dengan dia menganggapnya sombong. Tapi ketika kalian berada satu langkah lebih dekat—apalagi bisa menembus 'batas'-nya—, berteman dengan Machela merupakan salah satu hal yang menyenangkan. Dia memang begitu, lebih memilih diam dibanding banyak bicara dan berujung menyakiti hati orang lain. Interesting.

Mungkin itulah cara takdir bekerja, menyandingkan dua manusia yang berbeda untuk saling melengkapi. They already completed each other since the first day they met, I guess?

Well, gue nggak tahu bagaimana cara mereka bertemu untuk pertama kalinya. Biarlah itu jadi rahasia waktu. Yang gue tahu hanyalah sebuah proses. Proses di mana kedua manusia itu akhirnya bersatu setelah tersaruk-saruk melawan kebodohan dan ego masing-masing. Proses yang nggak sebentar, namun pada akhirnya berbuah beberapa undangan marun yang kini tergeletak di meja kerja gue.

Gue mengambilnya dengan hati-hati tanpa bisa melenyapkan senyum dari bibir gue.

Erzanio Ganendra

&

Machela Julia Elvaretta.

Machela Julia Elvaretta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang