12| A Decision

38 4 0
                                    

MACHELA

Langit mulai membiaskan semburat jingga yang kian menggelap ketika pikiran gue berkelana menuju seseorang yang mungkin sedang tertawa bahagia di tempatnya sekarang. Bertemankan secangkir teh yang masih mengepulkan asap dan semilir angin yang terasa menggigit kulit dari ketinggian puluhan meter, setengah sadar gue menyenandungkan lagu demi lagu yang sengaja diatur untuk terputar secara acak.

It's like I dream

But I'm wide awake and

Finding comfort in these walls

In this town of a million faces

But I've always wanted something more

Gue terdiam dan mengulang bait terakhir dalam hati dengan segelintir perasaan yang nggak semestinya gue rasakan.

Always wanted something more... did I?

On a road with no destination

Following my beating heart

Sometimes it takes a leap of faith

To find out who you really are

When they said that I was crazy

I always knew that you were there for me

A million faces all around, but

It's yours I miss the most

I always knew

I'd be walking through the streets of gold

But here's the truth

Nothing really feels like home

Gue menghela napas berat. Lelah rasanya.

Fisik dan psikis. Gue lelah berperang dengan diri gue sendiri. He is indeed the person that this song talk about—I know it. Apalagi setelah kejadian di rooftop beberapa minggu lalu. Malam itu, gue bisa melihat lebih jelas tentang semuanya. Tentang arti dia untuk gue. And it makes my fear getting bigger than before.

Nggak. Nggak boleh begini.

Malam itu juga gue menyadari sejauh apa gue bergantung kepada mahluk bernama Erzanio Ganendra. Sudah terlalu jauh, hingga gue nggak mampu merasakan sekat pembatas ketika bersama Erza. And it feels so wrong, at least for him. Juga untuk hubungannya dengan Lentera. Cewek itu mungkin nggak tahu apa-apa soal perasaan gue ke pacarnya, tapi gue berani bertaruh, Lentera akan mati-matian membenci gue seandainya dia tahu.

Begitupun Erza.

Saat ini, mungkin menjauhi keduanya adalah pilihan terbaik untuk meminimalisir skenario terburuk yang bisa saja terjadi. Setelah malam itu, gue terus meneggelamkan diri bersama kerangka tugas akhir, jadwal asistensi, serta setumpuk laporan sebagai upaya menyibukkan diri. Dan kelihatannya Erza disibukkan oleh hal yang sama, karena intensitas Erza duduk bersama Kara, Orlan maupun Regi di Kancil jauh lebih jarang dari sebelumnya.

Well, katakanlah gue bodoh. Tapi gue pikir, saat ini gue tengah berada di jalur yang tepat. I guess?

Belum sempat lagu terganti, suara khas milik Taeyang yang menandakan ada panggilan masuk menginterupsi lamunan gue. Nama Gemara muncul di sana-membuat gue cepat-cepat menggeser panel hijau lalu bertanya, "Ada apa?"

"Where is that halo words, Machela?" dari seberang sana, kekehan Gema terdengar. Gue nyaris melepas sebuah decakan jengah kalau saja gue nggak menyadari ada yang berbeda dari suara Gema.

RWhere stories live. Discover now