22| Get It Right

52 5 1
                                    

MACHELA

What have I done?
I wish I could run
Away from this ship going under
Just trying to help out everyone else
Now I feel the weight of the world is on my shoulders

Gue berhenti membolak-balik isi buku yang diberikan Pak Putu ketika fokus gue terlanjur terdistraksi oleh lirik lagu yang terputar pelan di radio.

Duh, kenapa lirik lagunya menyindir gue banget, sih?

What can you do when your good isn't good enough
And all that you touch tumbles down?
Cause my best intentions
Keep making a mess of things
I just wanna fix it somehow
But how many times will it take?
How many times will it take for me to get it right
To get it right?

Entah kenapa, pikiran gue malah tertuju kepada Gemara lagi.

"Maaf kalau lagu saya ganggu kamu." Mungkin karena beliau bisa menebak melalui wajah gue yang mungkin terlihat stres, Pak Putu akhirnya mematikan radio sambil meringis. "Anak saya suka banget sama suara Lea Michele, jadi saya ikutan suka deh. Hehehe."

"Nggak masalah, Pak." Nggak masalah apanya? Padahal gue udah pengin gigit-gigit bolpoin saking stresnya.

"Kamu bawa aja buku saya. Tesnya dua minggu lagi, pasti bisa lah kamu lolos."

Gue tersenyum tipis sembari memasukkan buku setebal catatan dosa gue ke dalam ransel. "Jadi saya udah boleh pulang?"

"Memangnya siapa yang melarang kamu, Machela?"

Giliran gue yang meringis. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak. Terima kasih atas bantuannya."

Dan begitu saja, gue meninggalkan Pak Putu yang kembali mendengarkan lagu kesukaannya. Dosen gue yang satu ini... ternyata selera musiknya berbeda dari pria seumuran dia. Agak nyentrik, sih. Karena seleranya yang sangat anak muda ini, gue nggak heran kalau beliau masih bisa berlaku santai dengan mahasiswa bimbingannya. Beliau juga nggak seperti dosen lain yang kerap membuat mahasiswa grogi.

"Perasaan udah kelar sidang. Terus ngapain lo masih bimbingan sama Pak Putu?"

Setibanya di selasar gedung fakuktas, gue langsung disambut wajah suram Erza yang sepertinya sudah dirundung bosan karena menunggu gue.

"Dih, emangnya siapa yang nyuruh lo tungguin gue?" Balas gue.

"Nggak ada, sih." Erza mengusap leher belakangnya dengan kikuk. "Ya tapi kan gue mau tungguin lo, emang nggak boleh?"

"Ya udah, jangan bete makanya." Tangan gue meraup wajah Erza, namun hanya mampu menutupi hingga batas mata karena ukuran telapak tangan gue yang nggak seberapa besar dibanding wajah Erza.

"Makanya, bikin gue nggak bete lagi dong."

Sebelah alis gue terangkat. "Dengan cara?"

"Temenin ngopi. Hehehe."

Memangnya siapa sih yang bisa menolak Erza kalau sudah pasang ekspresi super tengilnya begini?

Iya, ekspresi Erza memang semenyebalkan itu—sok-sok menahan senyum, padahal dalam hatinya sudah ketawa-ketawa iblis karena dia tahu gue nggak bisa menolak keinginannya.

"Di Kafe dekat FH aja, ya? Gue males keluar lagi."

Erza memelotot. "YE OGAH, AH! ANAK FH TUH GENIT-GENIT!"

"GR banget?" Gue mencibir. "Siapa juga yang mau genitin lo?"

"Banyak, woy!" Serunya. "Udah ah, tempat lain aja."

Rजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें