27| Lune

35 3 0
                                    

MACHELA

Bunda selalu mengajarkan untuk menilai semua keburukan yang ada dari sisi baik. Seperti seharusnya kehadiran hitam tidak dinilai buruk oleh sebagian besar orang, karena tanpa ada sang hitam, putih nggak akan pernah ada. Begitupun sebaliknya. Hal itu menandakan bahwa di muka bumi ini nggak ada yang benar-benar buruk. Keburukan selalu berdampingan dengan kebaikan, tinggal dari sudut mana kita hendak menilai keburukan tersebut. Apakah tetap melihatnya sebagai yang buruk, atau melihatnya dari sisi yang baik.

Ajaran Bunda yang satu itu membawa gue pada sebuah waktu di mana gue harus berusaha keras menyikapi keburukan seseorang dengan cara yang baik. Sekalipun hal tersebut membuat gue berkali-kali medapatkan perlakuan buruk dari seseorang yang sudah gue anggap seperti saudara laki-laki.

"Pergi nggak lo!"

Kalau dalam keadaan normal, gue mungkin akan menghantam kepala Regi dengan apapun karena berani-beraninya berkata kasar kepada gue, apalagi di depan teman-teman bajingannya ini. Tetapi waktu itu gue hanya diam, menatap dia dan teman-temannya dengan dingin.

Iya, mereka teman-teman Regi, tapi jelas bukan teman gue. Sejak kelas tujuh, Regi jadi suka ikut geng nggak jelas yang hobi tawuran dan bolos sekolah. Kala itu, alih-alih menarik Regi menjauh dari pergaulan nggak jelasnya, semua orang justru sibuk menjauhi dia—termasuk Papanya dan Lachia, adik perempuannya. Semua orang menganggap dia buruk dan harus dijauhi sampai dia nggak punya siapapun untuk menjadi tumpuan.

"Ayo pulang. Jangan diterusin, nanti lo makin kelihatan buruk." Gue berusaha tetap bersikap baik ke Regi.

Bunda memang bilang bahwa gue harus menyikapi keburukan dengan cara yang baik, namun bukan berarti gue bisa membiarkan seseorang terus terjebak dalam keburukan. Melalui cara yang baik, gue harus menuntun yang buruk untuk menjadi baik.

Salah satu cara yang gue tahu ya ini.

"Peduli apa lo soal buruk dan baik?"

"Gue peduli sama lo."

"Bacot."

"REGI ABRAHAM DENGERIN GUE!"

"Tinggalin gue sendiri dan nggak usah pura-pura peduli sama gue. Muak gue sama orang-orang!"

Gue marah.

Gue nggak suka ketika Regi bicara seakan-akan nggak ada satupun orang yang peduli sama dia. Sekalipun orang-orang nggak memedulikan dia, gue tetap mau peduli.

Sampai ketika tangan gue melayang dengan sendirinya—menyadarkan dia dengan sebuah tamparan keras untuk mengingatkan Regi kalau gue nggak akan pernah bisa meninggalkan dia. Sedikitpun nggak.

"Nggak usah sok keren dengan merusak diri lo sendiri. Cuma pecundang yang pakai hal-hal begini buat lari dari masalah!"

Lalu kejadiannya terlalu cepat.

Regi yang masih emosi setelah bertengkar dengan Papanya mungkin semakin emosi mendapat kalimat tanpa filter yang juga keluar dari bibir gue akibat emosi. Dia balas mendorong gue—dan karena dia cowok dan gue cewek, dorongannya sangat kuat sampai membuat gue terhuyung dan jatuh dengan kepala menghantam salah satu botol berisi miras.

But I swear, it didn't got me angry.

Gue justru tersenyum sangaaaat lebar ketika samar-samar mendapati Regi yang panik rela melepas kaus tipisnya hanya untuk menghentikan pendarahan di kepala gue, sementara dia susah payah menggendong gue ke rumah sakit terdekat.

Nggak. Gue nggak berharap dia akan menangis—karena faktanya, hidup yang kejam membuat mental seorang Regi Abraham terlalu kuat untuk menangisi hal-hal sepele seperti ini. Badan kurusnya hanya diam mematung di luar ruangan ketika dokter menangani luka gue. Matanya nggak mau balas menatap gue yang waktu itu hanya bisa menangis karena kepala gue ditusuk-tusuk jarum jahit.

RWhere stories live. Discover now