Chapter 3 : Hari-hari biasaku (Bagian 2)

544 33 3
                                    

"Tidak apa-apa, waktunya masih lama kok."

Perempuan yang berada dihadapanku adalah Caroline Celestine, dia adalah sahabatku dan aku memanggilnya Lina. Dia seorang gadis yang sangat cantik dan pintar dengan rambut pirang panjang, poninya yang membelah dua, tingginya sekitar 162 cm berbeda selisih 1 cm denganku dan matanya yang berwana hijau.

Dia berasal dari Inggris dan pindah ke sini saat aku berada di SMP kelas 1, karena alasan pekerjaan orang tuanya. Secara kebetulan juga kami selalu sekelas sampai sekarang. Kami pun mulai berjalan menuju sekolah yang jaraknya sekitar 2 km dari sini.

"Bagaimana dengan PR mu? Jangan-jangan belum dikerjain lagi ya?"

"Hahaha, maaf. Tadi keasikan bermain game jadi tidak sempat mengerjakannya."

Aku menggaruk belakang kepalaku. Seperti biasanya, dia selalu mengetahui apapun yang sedang kulakukan.

"*Sigh...* Jangan dijadikan kebiasaan, nanti kesehatanmu terganggu tau."

Lina menghela nafas khawatir dan menasihatiku.

"Ya, ya, akan kuusahakan."

Sepertinya dia belum tahu kalau ibuku belum pulang selama 3 hari ini. Jika aku memberitahunya, dia pasti akan sangat khawatir padaku.

⁎⁎⁎⁎⁎⁎

Setelah berjalan sambil mengobrol, kami sampai di sekolah. Kami bersekolah di NPS A, sekolah swasta terkenal di ibukota Bandung. Kami berdua pun masuk ke dalam gerbang sekolah dan pergi menuju kelas yang berada lantai 3.

Aku membuka pintu dan melihat banyak teman-teman sekelasku yang telah hadir disini.

"Pagi Dean!"

Aku menyapa dan melambaikan tangan padanya yang sedang duduk bermain ponsel.

"Pagi juga Rei dan Carol!"

Dia pun membalas lambaian tanganku.

"Pa-pagi Dean."

Lina menjawabnya ragu-ragu, aku tidak tahu kalau dia itu takut padanya atau tidak?

Dean Gumelar, dia teman sebangku dengan penampilannya yang berambut coklat pendek sampai telinga dengan poni dari kanan ke kiri, dan mata berwarna hitam.

Meja Lina berada dimeja bangku kananku bersama Ayu Kartika, gadis dengan penampilan rambut hitam pendek sampai setengah telinganya dengan poni dari kiri ke kanan, dan mata berwarna coklat. Meja bangku ku berada dipaling depan dan dibarisan ketiga diantara empat barisan.

Kami berdua pun duduk dibangku masing-masing.

"Rei, tahu tidak kalau hari ini fenomena itu terjadi lagi?"

"...Benarkah?"

Aku sedang membuka tasku untuk mengambil buku kimia.

"Iya serius, 500 orang menghilang bersamaan."

"Tidak biasanya 500 orang kan?"

"Hmm... entahlah."

"Aku merasa kasihan pada mereka yang telah kehilangan."

Lina mengikuti percakapan kami.

"Yah mau bagaimana lagi? Walaupun kejadian ini sudah biasa... kita tidak tahu bagaimana semua ini terjadi."

Dean menjawabnya.

"Hanya Tuhan yang tahu."

Enam tahun yang lalu, di saat aku masuk sekolah SMP, dunia digegerkan dengan hilangnya setidaknya 100 juta orang diseluruh dunia tanpa jejak. Fenomena ini pun tidak bisa dijelaskan oleh siapapun, karena mereka tiba-tiba lenyap begitu saja dan itu pun terjadi dihadapan orang-orang. Fenomena ini kami sebut sebagai 'The Disappear Phenomenon' atau 'Fenomena Menghilang'.

Setiap tahun, lebih dari ribuan orang menghilang secara acak diseluruh dunia. Ayah, kedua adik perempuanku, dan semua teman-temanku pun menghilang sejak fenomena itu pertama kali terjadi.

Aku khawatir pada ibu, karena dia belum memberi kabar padaku melalui ponsel dan aku harap itu tidak terjadi padanya.

"Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi jika kita semua menghilang seperti mereka?"

"Jangan berpikiran seperti itu Rei! Aku tidak ingin itu terjadi padamu. Jika kamu menghilang, aku akan sangat...kesepian."

"O-oke."

Aku sedikit terkejut setelah mendengar Lina menjawabnya dengan serius dan sedikit keras dari biasanya. Aku tidak bisa mendengarkan perkataan terakhir darinya karena suaranya jadi mengecil.

Dia benar, tetapi aku sangat merindukan mereka. Aku ingin makan malam bersama, bersenang-senang, dan pergi ke wahana yang seru seperti sebelumnya. Tetapi, itu tidak akan pernah terjadi.

*Krieett*

Aku melihat seorang guru perempuan membuka pintu berjalan menuju mejanya. Dia berambut hitam pendek sampai dagu, berbadan gemuk, berkacamata, tingginya hampir sejajar dengan lengan tanganku.

Dia tidak menutup pintunya yang membuatku sedikit kesal.

"Bersiap!! Beri salam! Selamat pagi, bu Nia!"

Ketua kelas memberi salam dan kami ikut memberi salam setelahnya.

"Em, selamat pagi!"

"Dean, bisa tidak kalau pintunya ditutup?"

"Oke."

Dean beranjak dari bangkunya dan menutup pintunya, lalu duduk kembali di kursinya.

"Baiklah, kita mulai pelajarannya."

Setelah itu, aku pun belajar hingga jam 2 siang.

*TIIING TUUUNG.... TIIING TUUUNG....*

"Baiklah, pelajaran kita selesai hari ini. Hati-hati dijalan."

"Baik, bu!"

Kami menjawab dengan bersamaan. Bu Nia berjalan menuju kearah pintu dan keluar. Aku merapihkan buku ku dan memasukkannya kedalam tas.

"Rei aku duluan, ada eskul sepak bola sekarang."

"Oke, hati-hati."

Dean pergi meninggalkan kelas. Oh iya, dipikir-pikir, Lina juga punya eskul drama sekarang.

"Lina, aku duluan ya!"

Aku melihat Lina sedang berbincang dengan teman-temannya.

"Ya, Hati-hati dijalan."

Aku pun beranjak dari kursi dan segera meninggalkan sekolah. Setelah diluar sekolah, aku pun berjalan dan pulang. Di saat setengah perjalanan menuju rumah, aku membuka hapeku sembari menunduk dan berjalan.

"...henti!"

"Hmm...?"

Aku mendengar seseorang dari jauh dan tidak jelas, tetapi seakan-akan memanggil diriku.

*TIT TIT TIIIITTT!!!*

Di saat aku ingin melihat seseorang itu, tiba-tiba aku mendengar suara mobil di kananku dan secara otomatis aku menengok ke suara tersebut.

"Eh...?"

Aku melihat sebuah truk yang melaju kencang kearahku. Aku baru sadar kalau aku sedang berada di tengah jalan sendirian dengan ponsel yang berada digenggaman tangan kananku.

In Another World as Vampire Mother with My Half Different Races Septuplet GirlsWhere stories live. Discover now