7. вυʝυк

348 68 20
                                    

Hari itu, di sudut lorong sekolah, Sangkara mengejar untuk dapat mendekati Teo dengan senyum lebar di wajahnya. Namun, nampaknya apa yang keluar dari mulut Sangkara tidak membuat hati dingin Teo berubah. Sangkara sudah berusaha mengatakan hal-hal tentang Teo yang ia ketahui namun disergah oleh Teo secara mentah-mentah.

"Jangan salah paham, kenyataannya kita emang nggak saling kenal. Gue harap ini jadi pertemuan pertama sekaligus terakhir buat kita." Ucap Teo apatis.

"Teo, apa lo berusaha menghindar dari takdir?" Balas Sangkara dengan ekspresi serius.

Teo terdiam sejenak merenungkan ucapan Sangkara barusan. "Takdir?" Bingungnya.

"Kalo gue ceritain, apa lo bakal percaya sama gue?"

"Gue nggak terlalu peduli sama apa yang bakal lo ceritain ke gue." Timpal Teo.

"Sikap lo benar-benar nggak pernah berubah, selalu sarkas dan apatis." Kata Sangkara masih menatap Teo yang kini menatapnya dingin.

"Sikap gue yang begitu kebentuk karena--" Ucapan Teo terhenti dan menutup mulutnya rapat-rapat, "ahh, lupain aja." Sambungnya menggeleng.

Sangkara tahu apa yang dimaksud oleh Teo mengenai sikap dan sifatnya yang terbentuk selama ini. "Karena ayah lo?" Ungkap Sangkara.

"Apa?" Kejut Teo.

"Gue tau sifat lo kebentuk karena didikan ayah lo yang ambisius. Lo dituntut untuk jadi anak emas padahal selama ini lo cuma perak yang selalu jadi nomor dua." Ucap Sangkara mengatakan semua yang selama ini Teo rasakan.

"Apa maksud ucapan lo?" Tanya Teo bingung. Namu, kali ini ekspresinya tidak datar atau pun dingin, melainkan marah.

Tidak, sebenarnya Teo mengerti maksud ucapan Sangkara barusan. Didikan ayah yang ingin sekali dirinya menjadi emas kedua setelah sang kakak dan membuatnya sangat menginginkan pengakuan. Tapi, hanya bisa menggapai perak yang selalu dikekang dalam jeruji aluminium berbalut baja. Impian yang didambakan hanya bisa ia angan-angan tanpa diraih dengan kemampuan yang dimilikinya selama ini.

Sangkara tahu ekspresi penuh keputusasaan dan kekecewaan itu. Ia dapat melihatnya dengan sangat jelas dari mata merah akibat kurang tidur dan rahang yang keras, menandakan kemarahan Teo yang sudah hampir di ambang batas karena hanya dianggap perak oleh ayahnya.

"Gue tau semua tentang lo Teo, apa lo percaya sekarang?" Kata Sangkara kembali.

Teo terdiam sambil menelan salivanya kuat-kuat. Seseorang baru saja mengetahui dirinya lebih dari siapa pun. Bahkan ayahnya sendiri.

"Kalo kita emang temenan sejak lama, kenapa gue nggak ingat sama lo?" Tanya Teo mengalihkan topik pembicaraan.

Mata Sangkara membulat sempura, dengan bibir dikatupkan ke dalam dan bola mata yang dilirikan ke kanan dan kiri, ia memikirkan jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan Teo agar tidak terjadi kesalahpahaman.

"Itu karena--"

"Karena apa?" Potong Teo tak sabaran.

"Di dalam hati lo yang paling dalam, lo kesepian dan butuh seseorang. Nggak, lebih tepatnya lo butuh kita. Setiap hari kita berbagi cerita dan tertawa bersama, layaknya seorang teman." Jawab Sangkara dengan tatapan mata yang meyakinkan.

Teo menggeleng, entah kenapa kepalanya berdenyut setelah Sangkara mengatakan hal tersebut. Seolah ada ingatan baru yang masuk ke ranah delusifnya.

"Maaf, tapi gue rasa lo salah orang. Gue nggak pernah berteman sama lo, apalagi ketemu." Teo masih menyergah.

Sangkara menatap Teo dengan tatapan menyedihkan, "Padahal kita berada dalam takdir yang sama." Ucapnya sambil tertunduk.

Teo mengerutkan kening, "Sebenarnya, takdir apa yang lo omongin dari tadi?"

LINGKAR BINTANG [TAMAT]Where stories live. Discover now