20. αмιg∂αℓα

170 37 5
                                    

Yozar duduk termenung di sudut kamarnya, membiarkan kesedihan menyelimuti dirinya setelah mendengar pertengkaran sengit antara kedua orang tuanya. Suara-suara keras dan kata-kata yang menusuk langsung ke hatinya, meninggalkan bekas yang sulit untuk dihapus.

Hari itu, ruangannya dipenuhi dengan keheningan yang mencekam, hanya dipecah oleh gemuruh pertengkaran di luar pintu kamarnya. Dia mencoba menyembunyikan diri di balik tirai kesendirian, tetapi kehadiran pertengkaran itu begitu nyata, begitu memenuhi ruangan sehingga dia tidak bisa lagi mengabaikannya.

Pertengkaran itu telah mencapai puncaknya ketika kata-kata "perceraian" terucap dari bibir ibunya dan dengan cepat disetujui oleh ayahnya. Bagi Yozar, itu seperti guntur yang membelah langit, merobek hatinya menjadi dua bagian.

Ketika suara pertengkaran mereda, Yozar merasakan kesendirian yang menggelayutinya semakin dalam. Hatinya terasa hampa seakan-akan kebahagiaan yang biasa dia rasakan di rumah itu lenyap dalam sekejap. Dia bertanya-tanya apakah keluarganya akan baik-baik saja, apakah mereka masih bisa bersama, atau apakah semuanya akan berubah selamanya.

Dengan langkah ragu dia meninggalkan kamarnya dan turun ke ruang tengah. Di sana, dia menemukan kedua orang tuanya duduk bersama dengan ekspresi yang tegang dan lelah di wajah mereka. Yozar merasa hatinya terasa hancur ketika melihat kedua orang tuanya seperti ini.

Ketika hujan mulai turun dengan lebatnya di luar, Yozar merasa dorongan untuk melarikan diri dari kenyataan yang menyakitkan itu. Tanpa ragu, ia mengambil kunci motor dan keluar dari rumah, meninggalkan segala kehampaan dan kekecewaannya.

Di jalan yang gelap dan basah oleh hujan, Yozar merasa kesepian dan takut. Tangisnya bergabung dengan suara gemuruh hujan ketika ia melaju dengan cepat di atas motornya, mencoba melarikan diri dari rasa sakit yang menghantui dirinya.

Duduk di kamar dengan buku terbuka di pangkuannya, Sangkara merenung dalam-dalam. Ekspresinya terlihat murung, pikirannya terus menerus dipenuhi dengan pertanyaan tentang persahabatan yang retak dengan Yozar. Dia merasa kehilangan, tidak tahu harus melakukan apa untuk memperbaiki hubungan mereka yang kini terasa renggang.

Sangkara memutar ulang kenangan-kenangan manis yang mereka bagikan bersama, menghabiskan waktu bersama di setiap kesempatan. Namun, sejak terjadinya kesalahpahaman itu, Yozar mulai menjauhinya. Sangkara merasa sedih dan kecewa, ia tidak ingin kehilangan salah satu sahabatnya yang saat ini sedang ia pertahankan.

Sangkara mengangkat panggilan telepon dengan kebingungan, tidak mengenali nomor yang muncul di layar ponselnya. Suara gemetar dari seorang wanita terdengar di seberang sambungan, dan Sangkara merasa kecemasan yang mendalam menyelinap ke dalam dirinya ketika wanita itu langsung mengungkapkan kabar buruk.

Wanita itu merupakan pembantu di runah Yozar, dengan suara gemetar memberitahunya bahwa Yozar telah pergi dari rumah menggunakan motornya dalam keadaan hujan lebat. Bahkan lebih membuat hati Sangkara terguncang, wanita itu melanjutkan dengan mengatakan bahwa Yozar telah mendengar pertengkaran sengit antara kedua orang tuanya sebelum pergi.

Sangkara merasa dunia di sekitarnya tiba-tiba berhenti berputar. Kecemasan dan kekhawatiran melanda dirinya saat dia menyadari betapa berbahayanya kondisi yang dihadapi oleh Yozar. Tanpa ragu, dia mengucapkan terima kasih kepada wanita itu atas panggilan teleponnya dan segera menutup sambungan.

Tanpa berpikir panjang, Sangkara langsung bergegas keluar dari rumah untuk mencari Yozar.

Di perjalanannya, dia bertemu dengan Bumi yang memang ingin pergi ke rumah nenek Sangkara. Sejak kebakaran yang menghanguskan rumahnya tanpa sisa, Sangkara dan Sahara pun tinggal di rumah nenek.

"Lo mau kemana malam-malam begini?" Tanya Bumi keheranan melihat ekspresi Sangkara yang nampak panik.

"Gue mau cari Yozar." Jawab Sangkara.

Bumi menautkan alisnya. "Yozar? Emang kemana tuh anak malam-malam begini?" Tanyanya.

Sangkara mengangkat kedua bahunya dan menggeleng. "Tadi gue dapat telepon dari pembantu rumahnya, bilang kalau Yozar pergi keluar pake motor dalam kondisi yang buruk akibat pertengkaran orang tuanya di rumah. Sekarang lagi hujan dan gue takut terjadi hal buruk sama dia." Jelas Sangkara.

"Kalo gitu gue ikut, ya?" Kata Bumi menawarkan diri.

Sangkara langsung menghadang Bumi. "Jangan, Bum, lo pulang aja. Lagian lo ngapain ke sini?" Larangnya.

"Gue emang berencana mau ke rumah nenek lo."

"Tapi, lo nggak bisa ikut sama gue untuk nyari Yozar. Ini udah malam." Sangkara bersikeras melarang Bumi.

"Kalo kita cari bareng-bareng pasti bakal gampang nemunya." Kata Bumi bersikeras untuk ikut.

"Ehm ..., tapi---"

Bumi memotong ucapan Sangkara dan menarik lengan Sangkara untuk bergegas. "Udah nggak usah banyak mikir, ayo!"

"I-iya ...."

Setelah Sangkara mengangguk mengiyakan, akhirnya mereka pun mencari Yozar bersama-sama.

Hujan deras membasahi jalan di depannya, tetapi Sangkara dan Bumi tidak peduli. Yang terpenting bagi mereka saat ini adalah menemukan Yozar dan memastikan keselamatannya. Setiap detik terasa seperti jam, dan kekhawatiran yang mendalam memenuhi setiap serat tubuh mereka yang menggigil.

Di persimpangan lampu merah yang sibuk, Sangkara dengan langkah cepat melintasi jalan untuk menyusul Yozar yang sedang menunggu di sisi lain.

"Sangkara, lo mau kemana?" Tanya Bumi.

"Gue lihat Yozar, Bum. Gue harus susul dia sebelum lampu hijau." Jawab Sangkara.

"Yozar? Di mana?" Bumi mencari-cari keberadaan Yozar namun tidak melihat bahkan tidak menemukannya. Tanpa sadar Sangkara sudah berada jauh dari jangkauannya.

"Ehh, Sangkara tungguin gue!!" Seru Bumi mulai menyusul.

Ketika Sangkara berlari untuk menyeberang, ia tidak menyadari ada mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Dan sebelum Sangkara bisa bereaksi, mobil itu menabraknya dengan keras.

"SANGKARA!!"

Teriakan histeris Bumi memenuhi udara saat kejadian mengerikan itu terjadi di depan matanya.

Tanpa berpikir panjang, dia berlari ke tempat kecelakaan, hatinya berdebar kencang dalam ketakutan dan kepanikan. Dia melihat Sangkara terbaring lemah di tengah jalan, dengan luka-luka serius yang menganga di tubuhnya.

"TOLONG!! TOLONG PANGGIL AMBULANS!!" Teriak Bumi sambil menangis tersedu-sedu.

Bumi sangat terguncang oleh kejadian yang mengejutkan itu. Dengan gemetar, dia mencoba memanggil bantuan dari orang-orang sekitar, berteriak meminta ambulans dan pertolongan segera. Ketakutan dan kekhawatiran melanda hatinya saat dia melihat temannya yang terluka parah di jalanan yang ramai.

Tak berselang lama kemudian, suara sirene ambulans terdengar mendekat, memberi sedikit kelegaan bagi Bumi. Mereka segera tiba di tempat kejadian, dan petugas medis segera mengambil alih, mengevakuasi Sangkara dengan hati-hati ke dalam ambulans.

Dengan hati yang berat dan penuh kecemasan, Bumi menyaksikan ambulans menjauh, mengikuti Sangkara yang dibawa ke rumah sakit. Dia berdoa dengan segenap hati agar temannya itu bisa pulih dengan selamat.

"Sangkara, lo harus bertahan ..., gue mohon lo harus bertahan ...."

***

LINGKAR BINTANG [TAMAT]Where stories live. Discover now