3. 인식 | Recognition

7.1K 793 59
                                    

“Jeymin...”

“Ibu...” panggil Jeymin dengan suara lemahnya. Bola matanya sudah terbuka sempurna namun tangannya seakan memperagakan jika ia sedang meraba sesuatu. Ia merasakan seluruh dunia ini menghitam, bahkan ia sudah membuka matanya penuh. “kenapa disini gelap sekali ibu?” lanjut
nya.

Dokter Seokjin yang tadi sudah hampir keluar dari ruangan, mendadak harus kembali saat ibu Park memanggil namanya. Bergegas ia berjalan menuju ke arah pasiennya dan kembali mengecek keadaannya.

Semua manusia memiliki perasaan yang sama jika melihat situasi Jeymin saat ini, termasuk dokter Seokjin.

Tidak tega. Ya, siapa di dunia ini yang tidak terkejut jika salah satu fungsi bagian tubuhnya ada yang hilang? Dengan berat hati ia menyampaikan apa yang telah terjadi dengan pasiennya.

Seokjin menghirup nafasnya dalam dan sekilas melihat ibu Park yang sudah tak kuasa lagi membendung tangisnya.

“Ibuu... ibu ada dimana? Kenapa aku tak melihat mu? aku dimana?”

Tangan dokter Seokjin menggenggam lengan Jeymin erat. “Park Jeymin... kau ada di rumah sakit. Saya dokter yang menangani mu di sini. Kau mengalami kecelakaan dua hari yang lalu dan mohon maaf karena aku harus mengatakan ini. Jeymin... kau mengalami kebutaan permanen akibat kecelakaan yang menimpa mu. Ini dikarenakan pecahan kaca mobilmu yang telah melukai bagian mata mu.”

Jeymin sudah menggelengkan kepala seakan tak terima selama mendengar penuturan sang dokter.

“Tidak! Tidak mungkin!” Jeymin menitihkan air matanya. “Ibu... dokter bohong kan bu? Bu ini tidak mungkin kan bu?” Jeymin berusaha bangun, meskipun badannya lemah. Ia memposisikan dirinya terduduk, dan menggenggam erat tangan sang ibu yang tak bisa ia lihat.

Ibu Park hanya bisa menangis mendapati anaknya yang melontarkan pertanyaan seperti itu. Ibu Park tidak tau harus menjawab apa.

“Park Jeymin saya harap kau bisa menerima ini semua dengan lapang dada.” ucap dokter Seokjin penuh kepasrahan.

Jeymin terus menggeleng. Wajahnya memerah seakan ingin meluapkan berbagai emosi dalam dirinya. Ia ingin marah, ia ingin menangis sekuat-kuatnya.

Namun kepada siapa ia harus marah? Ya, salahkan saja Deyra sekarang juga yang bahkan tidak bisa ia lihat.

“Ibu...” Jeymin semakin terisak.

Ibu Park membawa Jeymin dalam dekapannya. Ia menangis sekuat-kuatnya dalam rengkuhan sang ibu sembari tangannya mengepal kuat dan meninju-ninjukan tangnnya pada kasur ranjang rumah sakit.

“Iya ini ibu sayang... kau harus kuat ya. Kau harus segera sehat. Ibu menyayangi mu Park Jeymin.” Ibu Park menepuk-nepuk pelan punggung sang putra untuk memberi kekuatan batin.

Ibu Park berjanji jika hanya akan menjaga Jeymin setelah ini. Menjaga putranya agar baik-baik saja menjalani hidup. Sebab Ibu Park tidak bisa berbuat banyak, sebagai seorang ibu‒ia hanya akan menghidupi Jeymin, merawat Jeymin hingga akhir hayatnya. “Jeymin... jangan menangis terus nak... ibu ada disini.” ucapnya lirih.

Sementara Deyra sampai tercekat dalam tangisnya. Manusia mana yang tak turut merasakan kesedihan jika disuguhkan pemandangan seperti ini? disaat sang ibu dan anak saling berpelukan, saat itu juga Deyra semakin menyalahkan dirinya sendiri karena telah merusak kebagahagiaan orang lain.

Merusak kehidupan Park Jeymin.

Tangannya yang bergetar hebat menguasai segala perasaan bersalah dalam dirinya. Deyra seakan kehilangan akal memikirkan bagaimana cara ia harus menolong Jeymin. Ini semua salah ku... ini semua salah ku Tuan... Batin nya seakan berdemo jika semua ini akibat perbuatannya.

5. LIGHTS | PJM ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ