vi. Kim Minkyu: Here, grab this hand (a)

199 41 7
                                    

SEPERTI BIASA, aku perlu menyeberang agar dapat ke halte bus pada paginya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SEPERTI BIASA, aku perlu menyeberang agar dapat ke halte bus pada paginya. Sering sekali aku berangkat sendiri. Walaupun rumahku dan kedua teman dekatku terbilang cukup dekat, tetapi kita jauh lebih memilih berangkat sendiri. Kerap kali aku mendengar klakson di samping kananku. Para pengemudi menggerutu karena aku berjalan terlalu lambat. Bukannya tidak ada alasan aku melakukan hal itu. Setiap kakiku menyentuh cat hitam putih, pemikiranku berlari menuju kematian.

Bagaimana rasanya jikalau diriku ditabrak?

Apakah itu sakit? Aku pernah melihat video adanya kecelakaan dan organ korban terkeluar layaknya balon diisi air lalu meletus dan mereka tidak meninggal seketika. Beberapa detik mereka mengelik, setelahnya barulah mereka pergi. Aku membayangkan kecelakaan itu menimpaku. Organ-organku keluar dari tubuhku. Kulitku terkelupas. Dan aku bersimbah darah. Aku menggeliat, meminta hidup. Seakan aku masih bisa bertahan. Lalu berakhir mati.

Aku jadi bertanya-tanya apakah kakekku bahagia di atas sana. Beliau meninggal pada saat usiaku empat belas tahun. Tubuh beliau dingin. Tangan kapalan berkulit kendur yang kerap kali menulusuri suraiku, menepuk bahuku tatkala bersedih. Begitu kaku, sehingga aku masih bertanya-tanya bagaimana bisa tubuh seperti menyimpan jiwa kakekku? Bagaimana bisa sosok jiwa menggerakkannya dan membuat tubuh itu hidup?

Aku sampai di halte dengan selamat, tidak ditabrak.

Sebegitu aku masuk ke bus, orang pertama yang menarik perhatianku adalah adik kelas kemarin. Aku berdiri di sampingnya. Awalnya kami tak lebih dari kedua orang yang takkan menjalin hubungan timbal balik. Sampai di detik aku sadar ia memandangiku terus-menerus. Itu bukan pandangan kagum, melainkan menyelidik.

"Hei, ada apa di wajahku?" Aku bertanya dengan nada pelan. Ia terlihat panik, takut, bingung, segala emosinya bercampur. Aku mencoba menenangkannya.

"Tenang, jangan panik." Aku mengusap puncak kepalanya, biasanya adik sepupuku akan tenang jikalau seperti ini. Ia bergeming. Sedetik kemudian, ia menepis tanganku--sejujurnya aku sedikit terkejut karena aku tidak menyangka akan ditepis. Membungkuk. Berusaha tersenyum kaku, namun kentara sekali bahwa ia kalut. Bus berhenti, lalu ia keluar seakan dikejar makhluk tak kasatmata.

.

.

.

"Aku berjalan di lorong gelap, tiada seorang pun di sana menantiku. Secercah cahaya yang kusimpan pun sirna. Kesendirian menggerogotiku. Aku akan mati. Aku bertanya-tanya apakah ada sosok datang untuk memberikanku alasan agar tetap hidup ...." Jeongin membaca lirik yang kubuat dengan datar seperti biasa dan anehnya wajahku seakan memerah. Tidak, ini tak aneh. Memang rasanya memalukan sekali tatkala seseorang membaca karyamu di depanmu. Aku berharap sekarang diriku dapat lari ke mana pun agar tidak mendengar isi bacaan Jeongin. Demi siapa pun, ini memalukan.

Setiap pulang sekolah kita selalu berkumpul di ruang kecil di belakang sekolah, yang sebelumnya adalah gudang dan sekarang resmi menjadi ruang klub kita. Band kita, tepatnya. Aku masih ingat cara Ryujin memintanya kepada Ketua OSIS kita, Park Yejin. Ryujin memohon--dari selalu menahan Yejin-sunbae di depan gerbang sekolah, melakukan aegyo saat netra mereka beradu, menangis-nangis, dan segala taktiknya yang sampai membuat Yejin-sunbae jengkel--dan akhirnya diberikanlah gudang belakang sekolah. Salah satu kenyamanan kita karena gudang belakang sudah tak terpakai, adalah ... iya, kita menghiasinya sesuka hati kita. Hari pertama Ryujin membawa beberapa botol cat semprot, kita menggambar berbagai hal di sana. Mulai dari grafiti yang membentuk kata-kata motivasi, tengkorak, pelangi, dan nama band kita: "SPLASH!!!" Ya, walaupun setelahnya kita mendapatkan semburan rohani dari kepala sekolah.

"Tolong jangan katakan lagi, baca dalam hati saja." Aku menaruh tangan di depan wajahku, berharap Jeongin tak sadar wajahku merah. "Tolong," kataku sekali lagi. Jeongin membalasku dengan gerakan tangan oke. Keheningan memenuhi kami. Tetapi itu tak berlangsung lama, karena Ryujin membuka pintu dengan keras. Lebih mirip banting untukku. Dia datang dengan wajah sumringah, menggandeng seseorang. Figurnya tak asing. Lalu aku menatap wajahnya.

Ah ... adik kelas yang di bus.

.

.

.

Flutter of Cherry Blossom ✓Where stories live. Discover now