x. Kim Minkyu: Here, grab this hand (c)

168 37 8
                                    

AKU TIDAK tahu ke mana aku harus berpulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

AKU TIDAK tahu ke mana aku harus berpulang.

Seharusnya tujuanku setelah berpamitan dari Jeongin adalah rumahku. Rumahku. Haha, memikirkan kata bahwa tempat berisik yang dipenuhi teriakan serta suara bantingan adalah rumah, benar-benar lucu. Tidak setiap hari ada keributan seperti itu, beberapa kali mereka tidak ada di rumah karena harus bekerja. Tiada lagi sarapan atau makan malam di rumah. Segalanya aku harus melakukannya sendiri. Mulai dari sarapan, setiap malam aku harus membeli beberapa roti atau makanan lain yang tak perlu dipanaskan. Makan malam terkadang kulewati dan aku tidur. Makan siang di sekolah terkadang juga kulewati karena terlalu sibuk dengan tugas atau membuat lagu. Mereka semua hanya memandangku dari luar. Mereka tak tahu apa pun. Aku belajar, agar nilaiku bagus, agar aku bisa kabur dari rumah dengan cara mendapatkan beasiswa. Dan aku berusaha melakukan hal yang disukai semua orang, agar aku tidak dibenci dan dapat diterima di mana pun. Aku berusaha keras dalam band, dari membuat lirik, menyusun melodi-tempo-irama-nada bersama Jeongin dan Ryujin, karena aku tahu hanya itulah satu-satunya hal yang kulakukan dengan senang dari lubuk hatiku.

Dan ia berkata aku tak butuh berusaha.

Aku memutuskan untuk berada di taman dekat rumah, duduk di kursi kayu. Mengamati beberapa anak-anak berlarian, bermain pasir, dan mengobrol. Mengamati tampaknya bukan kata yang tepat, karena pandanganku hanya lurus menuju mereka. Namun, pikiranku mengatakan hal lain. Aku masih mencari-cari arti rumah untuk diriku. Rumah adalah suatu tempat aku berpulang, yang dipenuhi gelak tawa, penuh kasih sayang, dan hangat. Kurasa rumahku bukan rumah sesungguhnya, hanya dinginlah yang kurasakan. Orang tua yang seharusnya menjadi orang terdekatku, malah menjadi orang yang paling asing untukku. Hubungan darah pun tiada gunanya. Hanya darah yang membuat kita terhubung, namun hati kita tidak. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan sikap kedua orang tuaku. Mereka terlalu asing. Aku tidak tahu apakah ini memilukan. Hubungan seperti ini sudah biasa untukku. Hanya Ryujin dan Jeongin yang sepenuhnya orang yang membuatku merasa kalau aku dibutuhkan. Mereka bukan orang asing. Aku merasa paling hidup tatkala bersama mereka. Bukan orang tuaku, bersama mereka aku akan mati.

Senja, gulita hampir menenggelamkan rona oren kemerahannya. Suara cit cit burung gereja menguasai taman. Anak-anak mulai pulang ke tempat mereka bernaung. Dan aku masih sendirian di sini. Hei, ke mana aku harus pulang? Ruang band yang berada di belakang sekolah menjadi salah satu harta berhargaku, itu tempatku bersama yang lain. Tetapi, aku baru saja melarikan diri dari situ.

Dingin. Malam hari ini dingin. Aku tidak tahu selama apa aku berdiam diri. Selama apa aku terlihat dingin. Dingin angin malam tak membuatku berkutik. Segalanya seakan menyatu satu dengan diriku, mendinginkan perasaanku. Aku tenggelam dalam pikiranku sendiri, sendirian.

Aku sendirian, di malam yang dingin ini.

.

.

.

Aku pulang ke rumah--yang bahkan bukan rumah untukku--setelah membeli beberapa roti dan makanan siap saji yang tinggal dipanaskan. Tiada suara berisik. Tenang sekali. Lampu-lampu tidak menyala. Mereka belum pulang atau hari ini takkan pulang? Entahlah, persetan. Aku tidak ingin makan malam, aku hanya perlu mandi, mengerjakan tugasku sampai aku tidak memikirkan apa pun.

Tentang orang tuaku atau pun Hyeongjun.

Aku baru sadar selama ini aku tak mengecek ponselku. Ada banyak pesan masuk. Ada dari Ryujin, Jeongin, dan ... ada yang dari Hyeongjun.

[Song Hyeongjun]

|Minkyu-sunbaenim,
|Anu ....
|Aku minta maaf atas ucapanku hari ini
|Minkyu-sunbaenim benar, aku tidak tahu apa pun tentang sunbaenim. Aku hanya mengatakannya dari sudut pandangku. Karena sunbaenim terlihat seperti sosok yang seperti itu. Tetapi, setelah mendengar ucapan sunbaenim, aku sadar. Jika selama ini aku hanya iri dengan segalanya yang sunbaenim miliki. Oleh sebab itu, aku mengatakan hal seperti itu.
|Tidak apa-apa sunbaenim tidak memaafkanku, aku mengerti.

Ah ... aku harus balas apa? Apakah aku harus balas betapa sakit hatinya diriku? Nanti ia malah tambah bersalah. Apakah aku harus berkata bahwa aku telah memaafkannya? Rasanya aku seperti berbohong. Apakah aku harus diam saja? Melihat dari sikap Hyeongjun yang seperti itu, aku menebak saat mengetik ini jarinya bergetar hebat dan jantungnya berdegup kencang.

Kim Minkyu, kau lebih dewasa dari dirinya. Ayo maafkan dirinya. Ayo. Kau sudah dewasa, 'kan? Kau dewasa dengan sendirinya, bukan?

Aku memohon jariku bekerja sama, mengetik kalimat singkat; iya tak apa, aku memaafkanmu kok. Aku tak bisa. Sulit sekali. Hatiku masih berat.

Ternyata aku belum dewasa.

.

.

.

Flutter of Cherry Blossom ✓Where stories live. Discover now