viii. Kim Minkyu: Here, grab this hand (b)

175 35 4
                                    

HAL YANG pertama Ryujin katakan tatkala Hyeongjun secara resmi masuk ke band adalah dia harus meminta kibor pada Ketua OSIS

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HAL YANG pertama Ryujin katakan tatkala Hyeongjun secara resmi masuk ke band adalah dia harus meminta kibor pada Ketua OSIS. Dan kini dia berangkat sendiri menuju ruang OSIS dan memperingatkan kita untuk tak mengikutinya. Aku hanya mampu tersenyum tatkala wajahnya berupa seri-seri tak kunjung hilang. Sedangkan Jeongin memintaku untuk memberitahu Hyeongjun tentang aliran musik kita dan ia sendiri entah melesat ke mana. "Aku akan kembali nanti," begitulah katanya.

Hyeongjun masih menatap kagum dengan isi ruangan kita, barangkali ia merasa seperti memasuki dunia baru. Karena, selain di gang sempit--daerah rawan--kau tidak akan pernah melihat grafiti atau pelangi bekas pistol air. Semoga saja ia tak terlalu terlena dan menginjak berbagai kabel di lantai. Ryujin bilang, satu-satunya yang polos adalah langit-langit pendek--sekiranya 3 meter--yang agak apek lantaran kita berada di belakang sekolah, gudang tak terpakai, tidak memiliki sinar mentari lebih, AC pun tidak ada karena anggaran kita habis untuk alat musik dan kipas kecil--yang selalu dibajak oleh Ryujin, berakhir aku dan Jeongin membuka jendela mengipas-ngipas diri dengan buku catatan tipis. Alasan kita tidak merebut sangat sederhana; enggak mau kena cercahan makian marah-marah terselip beberapa kata kasar dan lebam bekas pelampiasan kekesalan.

Kurasa aku harus membuka pembicaraan, sebab Hyeongjun tak terlihat seperti tipikal orang yang akan memulai topik.

"Hyeongjun sudah main piano semenjak kapan?" Ia tersentak. Memandangku sejenak lalu menunduk.

"A-aku sudah engga main sekitar setahun yang lalu." Wah, ini memancing rasa penasaranku.

"Kenapa engga main lagi?"

"Aku eng-engga berbakat."

"Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Erm ...."

Setelah melihat reaksinya yang kesulitan mencari alasan aku segera dengan pertanyaanku. "Maksudku, memang tidak semua orang berbakat. Tapi, aku percaya orang yang berjuang keras akan melampaui bakat tersebut."

Hyeongjun menatapku tak percaya, ia tertawa. Perlu waktu untukku agar aku dapat mengetahui makna dari tawanya. Sejenis tawa sinis. "Un-untuk orang kayak sunbaenim, kayaknya engga butuh berusaha ya." Kepalan tangannya gemetaran, perkataannya barusan seperti memerlukan banyak tenaga untuk diucapkan.

Bukan berarti aku terima dengan lontarannya, tidak seperti yang ia pikirkan. Aku berusaha. Sungguh. Aku berusaha. Berusaha agar nilaiku tetap bagus, aku belajar. Berusaha tidak mengganggu kedua orang tuaku, aku bersembunyi di kamar. Berusaha menahan tangisan agar tidak membebani mereka. Berusaha tidak membebankan seluruh orang, aku tidak mengatakan isi hatiku segampang itu. Karena aku tahu betapa majurnya kata-kata jikalau kita tak saring, akan menyakiti hati seseorang. Kata-kata dapat membuat seseorang melambung tinggi, namun juga mampu mengubahnya menjadi serpihan.

"Apa yang kau tahu tentang diriku sehingga kau mampu berujar seperti itu?" Segala beban seolah tertahan di pundakku. Berat. Tidak hanya beban itu. Hatiku pun terasa mendung. Aku berulang kali mencubit tanganku agar tidak menangis. Telat. Ia memasang wajah terkejut sedangkan pasang netraku terisi, segalanya memburam, kemudian salah satunya meleleh.

Hyeongjun terlihat bersalah, aku yakin ia ingin berminta maaf. Persetan dengan segalanya, aku keluar dari ruang band dan berpas-pasan dengan Jeongin.

"Mau ke mana?" ia bertanya. Aku menggosok kedua netra, berharap jejak basah nan asin tak terlihat. Namun, itu tidak berguna yang tengah kuhadapi adalah Jeongin yang dapat melihat segala sesuatu seakan menembus diri. Pada akhirnya beberapa sekon ia menunggu jawaban dariku, yang selalu tersekat di tenggorokanku. Aku tak mampu memberitahunya. Masalah yang bahkan tidak bisa disebut masalah. Terlalu kecil. Jeongin menepuk bahuku. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan berakhir. "Nanti aku bilang ke Ryujin, istirahat saja dulu."

"Makasih." Sebelum aku benar-benar pergi, Jeongin mengatakan sesuatu. Samar sekali, nyaris tak terdengar. Namun, perkataan mencari celah di hatiku, menulusuk, dan membuatku hangat.

"Kalau kau membutuhkan sandaran atau pelukan, aku akan selalu di situ." Rasanya aku ingin memekik, memeluknya, lalu menangis sampai di detik aku tak merasakan asam yang mengikisku perlahan.

Tapi aku tidak bisa.

.

.

.

Flutter of Cherry Blossom ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang