xii. Kim Minkyu: The old way I saw in my dream (a)

152 31 1
                                    

AKU KEKANAK-KANAKKAN

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

AKU KEKANAK-KANAKKAN.

Terima kasih telah memberitahuku dan aku tahu, sungguh. Menghindari Song Hyeongjun bukan kehendakku. Tetapi, aku tidak tahu apa reaksiku nantinya tatkala ia membungkuk sembilan puluh derajat dan mengatakan maaf. Apakah hatiku sudah memaafkannya? Melihatnya sungguh-sungguh seperti itu, bagaimana aku bisa tega untuk tidak memaafkannya? Tetap saja aku memilih menghindar, sekali lagi bukan karena aku tidak memaafkannya.

Tetapi karena aku tidak siap.

Aku membenci diriku yang seperti ini. Seharusnya aku memiliki keberanian tuk menerima permintaan maafnya. Mengapa hatiku tidak siap? Aku tidak mengerti, aku ingin menunda segalanya. Aku tidak ingin bertemu dengan Hyeongjun, melihatnya membuatku terus memikirkan bahwa begitulah cara orang asing memandangku. Mereka mengira aku tidak butuh usaha. Aku tak butuh melakukan apa pun dan mendapatkan segala hal yang kuinginkan. Dan kenyataannya, mereka salah besar. Karena hal yang paling kuinginkan tak pernah sekali pun berada di dalam genggamanku. Keinginan semudah; aku ingin bersenang-senang bertiga dengan kedua orang tuaku, aku ingin mengenalnya sebagaimana seharusnya seseorang anak mengenal orang tuanya, aku menginginkan dua buah senyuman tulus mereka tatkala memandangku, aku ingin mereka menyempatkan diri mengambil rapotku--lalu berujar bahwa aku adalah anak yang mampu membanggakan mereka tatkala melihat nominal yang tertera, aku ingin mereka mengkhawatirkan keadaanku, aku ingin mereka berada di sisiku--mengamati perkembanganku, berujar jikalau misal aku bukanlah lagi bocah berumur lima tahun yang meminta mereka temani tidur. Terlalu banyak keinginan. Dan tiada satu pun yang tercapai.

Haha, Kim Minkyu, kau yang terlalu banyak meminta.

Aku menunduk seraya berusaha menyelesaikan partitur--dalam bentuk angka, bukan not balok pastinya dan setelah selesai Ryujin akan mengubahnya sedikit, dia berkata, jikalau nadaku memiliki makna suram tuk selamanya. Diam-diam aku mengumpatkan terima kasih dalam bentuk sarkastik--untuk Hyeongjun, menggunakan aplikasi perfect piano dan music maker tuk mastikan suaranya, serta membayangkannya karena aku tidak bisa bermain kibor. Jam istirahat, lagi-lagi demi menghindari Hyeongjun aku berada di kelas. Walaupun aku menghindarinya, aku tidak membencinya. Bagaimana pun ia adalah salah satu kunci band kami bila ingin tampil. Dan kurasa aku tidak akan kembali ke ruang band dulu. Aku butuh istirahat, menyendiri tanpa diganggu siapa pun. Aku butuh agar otak serta hatiku bekerja secara normal, tidak memikirkan apa pun yang akan membuatku terbebani.

Jeongin menghampiriku, dengan sekotak susu cokelat dan sebungkus roti ditaruh di mejaku. Dan ia sendiri meminum, serta menggigit sedotan susu kotaknya.

"Makan, aku enggak mau lihat kamu sakit."

"Hah?" Aku bertanya, aku tidak mengerti. Memangnya aku terlihat akan sakit?

"Mukamu pucat, kamu ada istirahat?"

Aku mengingat-ingat rutinitasku selama tidak menghadiri band. Membeli beberapa makanan di mini market, pulang rumah, mandi, makan--kalau minat, kerjakan apa pun entah itu tugas atau lagu, dan terkadang ketika aku masih tak merasa lelah, tak mampu terlelap, aku memilih menulis lirik yang berisi kegelapan hatiku atau menghabiskan waktu menonton permainan drum di youtube--dan mencatat apa saja yang ingin kupraktekkan nantinya. Terkadang aku tidak melihat jam, jadi tak tahu kapan aku terlelap.

"Ada istirahat kok."

"Berapa jam?"

"Erm ... kalau itu aku enggak tahu." Aku memilih tuk cengar-cengir tak bersalah.

"Tidurnya di kasur atau di meja belajar?"

Aku berusaha melirik ke samping, menghindari tatapan tajam berunsur tanya dari Jeongin. Jeongin adalah orang yang paling memperhatikan diriku dalam segi fisik mau pun mental, selama aku menghindari Hyeongjun ia tak pernah sekalipun menyuruhku tuk memaafkan Hyeongjun--dan aku sungguh berterima kasih tuk itu. Dan Jeongin juga akan dongkol jikalau aku dan Ryujin tidak menjaga kesehatan diri sendiri. Karena menurutnya kesehatan mental maupun fisik lebih penting daripada apa pun. Ryujin pernah diminta tuk mencoba rokok oleh anak kelas sebelah. Sehari setelahnya, anak kelas sebelah tak berani lagi memberikan puntung nikotin pada Ryujin. Aku menerka-nerka apa yang dilakukan Jeongin, dan aku tak mampu menebaknya.

"Meja," jawabku singkat. Aku menutup mata dan telinga. Siap-siap dengan segala hal yang akan Jeongin lakukan. Namun, yang kurasakan hanya sebuah tangan yang mengacak rambutku. Perlahan aku membuka mataku, melihat apa yang terjadi.

"Minkyu-ah, kamu tahu kalau aku dan Ryujin khawatir, 'kan?" Aku merasa bersalah melihat raut khawatir Jeongin. Raut itu tak dibuat-buat, mereka benar-benar cemas. "Kalau kamu mau sendirian, enggak apa-apa. Aku sama Ryujin pasti tungguin kamu di ruang band, kayak biasa. Cuma, setidaknya jagalah kondisi tubuhmu. Aku enggak mau kamu merusak tubuhmu sendiri."

"Maaf," bisikku pelan. Bohong, bila aku berkata hatiku tak tersentuh. Ternyata, selama ini masih ada yang peduli denganku, aku tahu aku bodoh. Aku selalu menatap ke arah orang tuaku dan melupakan eksistensi kedua orang yang selalu di sampingku. Aku menyambar roti, memakannya walau perutku memberontak, tak ingin menerima apa pun.

Aku ingin kembali ke ruang band, aku ingin kembali ke rumah yang dipenuhi gelak tawa. Rumah yang berujar bahwa diriku tak sendirian.

.

.

.

Hari ini, aku memutuskan untuk kembali ruang band. Aku akan menghadapi masalahku langsung. Aku tidak ingin kehilangan tempat satu-satunya untukku. Aku ingin bersama teman-temanku lebih lama, tidak ada gunanya aku bersikap suram. Masalahku takkan selesai dengan sikap yang seperti ini. Hilangkan perasaan ingin lari Kim Minkyu! Kau pasti mampu menghadapinya. Hyeongjun sudah menjadi anggota, hanya kau yang belum menerimanya. Jikalau kedua temanmu dapat menerimanya, seharusnya kau dapat juga. Bisa jadi sebenarnya Hyeongjun tak seburuk yang kau pikirkan.

Jemariku bergetar tatkala menggenggam gagang pintu. Jantungku berdegub kencang layaknya detik-detik roller coaster akan turun. Aku memegang dadaku, berusaha menenangkan diri dengan menghirup lalu mengeluarkan napas berulang kali.

Ayo maju, Kim Minkyu!

Aku membuka pintu, pemandangan pertama yang kulihat adalah Song Hyeongjun yang menangis.

Aku mengerjap-ngerjap, Apa yang terjadi padanya?

.

.

.

Flutter of Cherry Blossom ✓Where stories live. Discover now