xvi. Kim Minkyu: A place kids are still hanging out (a)

144 31 0
                                    

PAPAN TULIS tertera tulisan: "JAM KOSONG BELAJAR SENDIRI!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PAPAN TULIS tertera tulisan: "JAM KOSONG BELAJAR SENDIRI!"

Yang mana kenyataannya hanya segelintir murid yang belajar sendiri. Lebih banyak yang memilih berbincang dengan teman, beberapa memilih bolos ke atap atau UKS, dan ada juga yang memilih keluar kelas. Ya, seperti aku, Ryujin, dan Jeongin. Hari ini pada jam ketiga dan keempat merupakan rapat guru. Karena aku sudah lumayam muak melihat deretan rumus fisika, aku memilih tidur-tiduran. Sedangkan Ryujin dan Jeongin yang duduk di depanku entah membahas apa, tetapi aku menangkap beberapa kata kunci seperti; "Balas", "Tindas", dan "Mampusin". Dan setelah mencapai mufakat, mereka menarikku keluar kelas.

"Ayo cari Hyeongjun!" Ryujin berujar dengan semangat.

Kita mulai mencari dari ruang satu sampai dua puluh dua, kami melihat Hyeongjun duduk di pojok belakang membaca buku. Seperti biasa rambut bergelombangnya hampir-hampir menghalangi kacamata bulat besarnya. Aku melirik Ryujin, ekspresi gemas terpampang di sana. Kurasa aku dapat menebak isi otaknya; aku pengen ubah penampilannya!

Ya, mungkin ada baiknya mengubah penampilannya. Bukannya aku tidak menghormati pilihannya, tetapi dengan mengubah penampilanmu dapat mengubah kesan lemah yang melekat pada dirinya.

"Hyeongjun-ah, ayo bolos!" sahut Ryujin. Barangkali jikalau ini animasi maka rahang bawah Hyeongjun akan terjatuh karena menganga. Aku mendengar beberapa orang melebarkan netra karena tidak percaya. Pipi Hyeongjun bersemu gembira, ia buru-buru keluar ikut kami. Aku bertatapan dengan Ryujin dan Jeongin, kami sama-sama mengangguk.

Kupikir kami sama-sama tahu siapa pengganggunya. Habisnya jelas sekali.

.

.

.

Kami berempat membolos ke ruang band. Huh, memangnya ada tempat khusus untuk kita selain ruang mantan gudang? Kami berlatih lagu kemarin. Namun, tatkala Ryujin membagikan bagian siapa saja yang menyanyi, Hyeongjun mengangkat tangannya.

"Sunbaenim, boleh engga kalau bagianku kasih ke orang lain?"

"Kenapa?" Ryujin mengerjapkan netranya berulang kali karena tidak sangka dengan lontaran Hyeongjun. Aku dapat melihat isi otaknya berupa mengutuk dirinya; jangan-jangan gara pembagian lirikku kurang merata? Atau Hyeongjun mendapatkan bagian yang ia tak suka?

Shin Ryujin panik dan Jeongin menertawai dalam diam, sedangkan diriku hanya terkekeh pelan. Jelas sekali maksud Hyeongjun bukan seperti itu.

"Ah ... sebenarnya aku engga percaya diri sama kemampuan nyanyiku. Suaraku jelek." Hyeongjun menunduk, menyembunyikan wajahnya. Sedangkan Ryujin perlahan mulai mengerti, dia mengusap pelan kepala Hyeongjun.

"Hyeongjun-ah, jangan percaya dengan kata-kata orang-orang. Bagus atau tidak suara itu ditentukan bagaimana caramu menginterpretasikannya. Bagiku, suara yang bagus itu di mana kita bisa bernyanyi dengan percaya diri tanpa takut kritik seseorang atau komentar yang menjatuhkan." Aku dapat melihat kepercayaan diri yang bersemayam layaknya api merah di dalam netra Ryujin, api yang takkan pernah padam, yang membuatku ingin mengikutinya. "Itulah yang aku percaya Hyeongjun-ah! Oleh sebab itu, aku mau kamu belajar cara untuk menjadi percaya diri, pertama kamu harus belajar cara mencintai dan menerima dirimu! Aku tahu mencintai diri sendiri itu engga gampang. Tapi kalau kamu berhasil, segalanya pasti akan luar biasa!"

Barangkali Hyeongjun menganggap motivator kita di sini adalah Jeongin. Tapi, ia salah besar. Sebenarnya motivator kita, yang selama ini membuat kita berhasil menerjang ombak mana pun adalah mereka berdua. Berkat mereka, aku bisa menerima diriku. Dulu, aku memikirkan kematian jauh lebih parah dari pada ini, beberapa kali aku hampir terjatuh dari atap tatkala menatap ke bawah terus menerus dan mereka berhasil menangkapku.

Aku masih ingat teriakkan Ryujin dan Jeongin kala itu:

"KAMU BEGO YA?!"

Sedangkan diriku hanya mengerjapkan netra tak mengerti. Tadi aku hampir terjatuh. Nyaris sekali. Aku memikirkan bagaimana rasanya melayang di udara. Betapa cepatnya waktu berlalu. Bagaimana rasanya aku membiarkan kepalaku menyentuk aspal. Bagaimana bunyi remuk tulangku. Apakah aku akan mati? Segalanya tidak ada yang tahu. Aku seakan mencari misteri di dunia yang mana belum ada orang yang memecahkan. Misteri yang melibatkan hidupku. Apa yang tadi hendak kulakukan? Kepalaku terasa kosong, anehnya begitu ringan.

"Yah! Kim Minkyu, kalau mau mati kenapa engga dengan cara yang menyenangkan?" kata Ryujin.

"Hah? Mau cara kek mana lagi?" Aku menatapnya tidak mengerti. Aku tidak ingin repot-repot berujar bahwa tadi hanya ketidakhati-hatian.

"Cara ini bisa membuatmu mati berulang kali." Aku tambah tidak mengerti. "Aku mau kamu nulis perasaanmu dalam bentuk lirik, dan setiap kali kamu tulis kamu boleh mati berulang kali. Dan aku jamin, kau akan merasa lebih hidup lagi ada saat aku menyanyikannya."

"Yakin?" Aku masih ingat angin kala itu sayup-sayup dingin. Mentari ditutupi oleh awan. Aku kehilangan semangat hidup karena aku mendapatkan kedua orang tuaku sama-sama tidak mencintai satu sama lain. Mereka memilih menyerahkan jiwa raga mereka kepada orang asing. Pada titik tersebut, aku yang tidak percaya pada cinta, mulai membantah adanya cinta di dunia ini. Walau ada sekali pun, apa gunanya? Cinta tak lebih dari sebuah kata yang mengungkapkan frasa sebegaimana kedua orang menyukai sentuh, cumbu, serta kata-kata berupa afeksi sialan. Lalu keduanya akan berpisah dengan ketidakcocokan. Alasan mereka belum cerai, semudah; mereka tidak ingin diriku kehilangan orang tua. Haha, lucu, padahal kenyataannya kalian ingin mendorongku ke sana kemari agar kalian tidak terlilit tanggung jawab. Dan kalian mengatakannya secara halus jikalau kalian tidak ingin diriku kehilangan orang tua. Lucu sekali, sampai aku tak mampu tertawa. Mungkin karena tidak percaya itulah, aku tidak ingin menjalin hubungan dengan seseorang dalam arah romantis, itu membuatku sakit.

"Kamu drummer yang pernah tampil mewakili sekolah di lomba, 'kan? Aku ingat wajahmu," kata Jeongin. "Kamu juga punya wajah yang sulit dilupakan. Karena itulah bocah satu ini langsung nyerocos tanpa kasih tahu intensi kita ke sini."

Benar katanya, aku memang salah satu drummer yang paling sering mengikuti lomba sekolah. Mereka percaya bahwa diriku mampu membawa piala, dan aku berhasil. Aku ingat betapa bangga diriku kala itu. Tatkala aku hendak memberikan piala itu kepada orang tuaku. Mereka tengah berteriak pada satu sama lain, lalu pergi keluar rumah. Sebelum diriku sempat memperlihatkan pialaku. Kala itu diriku terlalu takut melangkah menuju ruang tamu, dan memilih bersembunyi di kamar seraya ketakutan dan menangis. Aku lemah dan aku sadar.

"Iya, terus kenapa?"

"Gabung dengan kami, kami butuh drummer!" Ryujin mengulurkan tangannya bersama Jeongin. Mereka tersenyum lembut dan aku menerima uluran itu, sampai kini tak pernah sekali pun aku menyesal karena telah menerimanya. Mereka memberikanku harapan, kesempatan, kehangatan, dan rumah. Aku tidak butuh hubungan romantis, aku bahkan tidak butuh kedua orang tuaku--aku sangat berterima kasih atas upaya kalian melahirkanku. Aku hanya butuh kedua orang ini agar selalu berada di sampingku. Selalu memberikan dukungan agar aku mampu hidup. Terkadang aku berpikir, jangan-jangan alasan aku dilahirkan adalah bertemu mereka.

Kini, aku berharap Hyeongjun menjabat tangan kami. Kali ini aku berharap mampu memberinya harapan.

"Hyeongjun-ah," memanggil namanya seakan pertama kali dan lidahku kelu. Tak apa, aku pasti mampu. Aku berharap diriku dapat menguatkan seseorang. Aku memang menenggelamkan diriku dalam hamparan kegelapan hati, namun itu tak berarti aku selalu suram. Hyeongjun menoleh ke arahku, aku dapat merasakan kedua sudutku ditarik. "Kamu pasti bisa!"

Tatkala aku memberikan semangat, wajah Ryujin dan Jeongin cerah. Ryujin mengandeng tanganku agar mendekat pada Hyeongjun, lalu memeluk kamu berdua seraya melompat girang.

"Aku sayang kalian semua!" ujaran itu merupakan luapan antusias yang tulus.

.

.

.

Flutter of Cherry Blossom ✓Where stories live. Discover now