A Cup of Tea oleh Elisabeth Cindy (@KuroyukiAlice)

143 13 1
                                    


Jika bagi Julio, Mei hanyalah secangkir teh ala kadar di musim gugur, maka bagi Mei, Julio adalah secangkir besar teh panas penuh mahkota bunga merah di musim dingin (lengkap dengan perapian hangat dan kukis cokelat).

***

Mei memandangnya dengan mata penasaran. Pada pemuda yang duduk di hadapannya, yang duduk dengan kedua kaki dinaikkan ke atas kursi, sebuah buku sketsa tebal di tangannya, menjadikan lututnya sebagai pangkuan. Tangannya yang berjemari panjang bergerak lincah menorehkan garis-garis hitam dari pensil arang, menuangkan apa yang ada di pikirannya menjadi sebuah kenyataan.

Mei memandang pemuda itu dengan kepala bertengger di satu tangan. Sebelah tangannya mengaduk-aduk isi cangkir tehnya yang merah kecokelatan, masih saja sedikit hangat. Cangkir milik si pemuda juga masih sama terisi dengannya, tapi isinya sudah dingin dan tidak lagi nikmat untuk dicecap.

Dari arah pandang Mei, dia melihat pintu kayu yang diayun terbuka, mendengar loncengnya yang sedikit berkarat bergemerincing ringan. Pelanggan yang datang membawa angin basah musim gugur ikut masuk bersamanya. Mei dapat merasakan tubuhnya merinding.

"Hei." Pemuda itu menengadahkan kepalanya. Mulutnya tersenyum pada Mei. "Hari ini dingin, ya?"

Mei mengangguk pelan. "Tehmu sudah dingin, tidak mau pesan lagi?"

Pemuda itu hanya bergumam pelan dan kembali menyibukkan diri dengan buku sketsanya. Mei hanya diam dan tersenyum. Dia menatap ke luar jendela dan menyeruput teh hibiscus-nya. Pemuda itu memang begitu, kadang-kadang mengabaikannya dan semua yang ada di sekelilingnya. Dan di lain waktu, dia bisa menjadi begitu peka terhadap lingkungannya hingga bahkan sadar akan kelainan cara bernapas seorang yang dekat dengannya. Mei tidak pernah bisa menghapalnya, kebiasaan si pemuda. Semuanya masuk secara perlahan, meresap ke kepalanya dari tahun ke tahun.

Mereka bertemu lagi setelah lima tahun tidak bertatap muka. Ini takdir, Mei tidak akan menyebutnya kebetulan. Takdir, takdir. Mei tidak ingin pertemuan mereka ini hanya pertemuan sama dengan beribu orang lainnya, itu terlalu manusiawi. Mei berprasangka lebih dengan pemuda itu, seperti layaknya segala hal yang sudah digariskan di dunia ini. Satu hal selalu berkaitan dengan hal lain, seperti kumpulan domino yang jatuh dan membuat yang lain ikut jatuh dan menyebabkan jalur domino roboh. Kadang kita punya kekuatan untuk membuat deretan domino itu berhenti jatuh. Tapi Mei punya kuasa apa? Gadis itu lebih senang melihat barisan domino-domino itu jatuh dan membuat pola yang akan membuatnya terkejut.

Mei senang melihat keping-keping dominonya jatuh, membuat sebuah kejadian A menjadi B, B menjadi C. Mei senang melihat pemuda itu masih tidak berubah dan tidak dapat ditebak sedari dulu. Seperti dulu.

"Hei," Mei kembali memandang si pemuda, jenuh dengan hujan di balik jendela dan kericuhan orang-orang di jalanan.

Pemuda itu mengangkat kepalanya dan mendapati mata si gadis padanya. "Kau mengamatiku dari tadi, hm?" Cengir lebar ada di wajahnya.

Mei terkekeh sambil kembali meminum teh merahnya. "Sedari tadi kau menggambar apa?"

"Pilihan katamu masih unik, ya!" Pemuda itu menurunkan pandangannya dan meletakkan pensil arangnya di atas meja. Dia membalikan lembar sketsanya pada gambar lain yang lebih berwarna. Mei memandang lukisannya penasaran.

Senja di Piazza Navona selalu dapat membuat Mei takjub.Dan pemuda itu melukisnya dengan begitu cantik.

"Cat air?" Fontana dei Quattro Fiumi di atas kertas itu terlihat begitu detail.Terlihat begitu hidup. Terlihat penuh kasih. Mei selalu kagum dengan pemuda itu yang menuangkannya dengan begitu mudah. Mei selalu kagum akan semua afeksi yang dituangkan pemuda itu pada lukisannya.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now