Bertahan oleh Ade Agustia Putri

103 9 0
                                    

Aku berharap terlahir menjadi plankton saja di samudera yang jauh di sana. Menjadi satu titik kecil di dalam wilayah ekosistem yang luas, tentunya menurunkan peluang untuk menjadi pusat perhatian. Dari jutaan, mungkin bahkan milliaran plankton, aku akan menjadi sosok yang terabaikan. Tidak akan mencolok perhatian. Hanya perlu waspada pada beberapa binatang yang menjadikanku menu utamanya. Sepertinya cukup mengasyikkan. Sayang, itu hanya sekadar angan. Sesuatu yang melanggar kodrat dan tidak akan mungkin terwujudkan.

Meski aku tak pernah melihat laut dalam sepanjang umur hidupku. Hatiku seakan telah dapat meraba aroma laut yang menunggangi angin. Beberapa kali, kubuka Youtube, dengan kata kunci pencarian 'Samudera', 'laut biru','plankton', 'paus' (aku tidak benci paus, walau beberapa dari mereka memakan plankton), dan hal-hal berkaitan dengan kolam raksasa ciptaan Tuhan itu. Alangkah indahnya. Andai jadi nyata. Aku....

"Jangan!" teriakku, ketika Rere menarik buku jurnal harianku.

Gadis berambut kemerahan itu, tersenyum lebar menatap ketakutanku. Dia semakin bersemangat menggenggamnya. "Pinjam bentar doang!"

"Woy woy!! Coba lihat tuh, siapa yang kuat!" seru salah seorang anak laki-laki.

Seisi kelas menatap ke arah kami berdua. Antek-antek Rere mendekatiku, untuk sepersekian detik sebelum kedatangan mereka, aku sudah tahu apa yang akan terjadi.

"Aaaa...." Aku mengerang, sambil menyentuh rusukku yang baru saja ditendang oleh Veni.

Jurnal terlepas dari jemariku.

"Aku berharap, aku terlahir menjadi plankton....What?!" Rere cekikan bersama gerombolan teman-teman yang penasaran dengan isi bukuku. Gadis itu mengendalikan masa di depan kelas, dengan lambaian tangannya yang meliuk centil.

"Emangnya lo mau ke Bikini Bottom? Idiot!" cerca Weli.

Aku berlari ke arah Rere, dan berusaha meraih milikku itu kembali. Seseorang menangkap lenganku. Terasa sakit.

"Ngapain lo b#$%? Udah berani ya? Mau gue potong tangan lo sama cutter?" desis Samuel, pacar Rere yang tubuhnya sangat besar sekali.Entakkan tangannya mampu membuatku terjatuh ke lantai. Beberapa anak yang ada di sekitarku, menjitak kepalaku berkali-kali.

"Jangan...!" jeritku pada mereka.

Rere mendekat dan memukulku berkali-kali dengan buku jurnalku sendiri.

"Gue kan Cuma minjam sebentar. Lo budek ya? Biar gue bantuin ngorek telinga lo ya!" Rere menjambak rambutku, kemudian meraih sebuah pena dari atas meja Sasa, salah seorang temanku yang sejak tadi hanya duduk memperhatikan. Dia terlihat tidak suka dengan yang dilakukan Rere, tapi tidak juga ingin berkomentar apa-apa. Di balik untaian rambutku yang berantakan, aku dapat melihat matanya balas menatapku. Gadis itu tetap diam membisu, tidak menolongku.Mereka yang mendiamkan kejadian ini, sama jahatnya dengan yang melakukannya.

Sorenya, aku telah sampai di rumah dengan keadaan yang serupa dengan hari sebelumnya. Buku-bukuku hilang, penaku tidak ada isinya lagi, tasku penuh bekas jejak sepatu, ditambah wajah masam yang masih tergantung di kepalaku. Aku masuk ke kamar dengan mengucapkan salam sepelan mungkin. Ibu pasti sedang bekerja, batinku. Selama ini aku tinggal hanya berdua dengan Ibu, di sebuah kontrakan kecil di tepi kota. Beliau yang membiayai semua kebutuhan hidupku, dengan bekerja sebagai buruh cuci kain, pencuci piring di pasar, dan pekerjaan lainnya.

Di dalam kamar, aku mematut diriku di depan cermin. Tidak ada yang berubah dari diriku selama kurang lebih satu setengah tahun ini. Kupikir masa SMA adalah masa terbaik untuk membangun kenangan nostalgia. Mereka bilang, masa indah inilah yang akan kita ingat di masa yang akan datang. Mereka mungkin benar sebagian, tapi tidak pada bagian 'masa indah'-nya, terkhusus untukku. Sejak semester satu tahun keduaku di sekolah, Rere telah menyatakan perang padaku. Ada beberapa alasan yang telah kurangkum dari perkataannya seperti; aku hanya punya satu orang tua; aku tidak punya uang hanya untuk membeli sepatu baru di awal semester; aku selalu berjalan kaki untuk pulang ke rumah; aku tetangga yang membuat lingkungan tempat tinggalnya seperti terkontaminasi limbah beracun.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now