Darren Bodoh oleh Fitria Meilia

104 9 1
                                    

Aku punya perhitungan sendiri dalam menilai seseorang. Kalau manusia tidak ada yang sempurna, sederhananya aku tinggal mengklasifikasikan manusia berdasarkan tiga hal: Visual, inteligensi, dan sifat.

Aku menemui orang cantik yang pintar tapi suka membanggakan diri. Teman sebangkuku dulu, cantik dan taat ibadah tapi lemot. Ada orang positif yang penuh semangat menjaga peringkatnya sampai lupa menjaga kebersihan diri. Ada yang suka membuang uang untuk kesenangan, sama sekali tidak memperhatikan nilai sekolah apalagi mengurangi kebiasaan negatifnya. Ada orang sederhana tanpa keistimewaan apa pun, tapi selalu dikelilingi teman karena keramahannya.

Kalau aku? Postur tubuhku pendek dan berdada rata, wajahku menyeramkan nan pasaran. Karakterku individualis, tidak tahu diri, menyebalkan. Dan sudah berhenti pintar semenjak terjangkit penyakit malas awal masuk SMA.

Benar. Orang yang hanya memiliki satu-dua kelebihan itu banyak, orang tanpa satu pun dari tiga kelebihan itu juga banyak. Tapi orang yang memiliki tiga kelebihan itu jarang.

Walaupun tidak ada manusia sempurna, marikita sebut orang yang punya tiga kelebihan ini si sempurna. Perlu contoh? Contoh si sempurna yang kumaksud itu yang sedang berdiri di samping mejaku sekarang.

"Pinjam pulpenmu." Si sempurna membuka tangan kanannya, berharap aku akan mengikhlaskan salah satu pulpen kebanggaanku.

Aku memeriksa tas bagian depan sebagai formalitas orang yang akan meminjamkan. Begitulah, tidak seperti gadis normal yang punya wadah pensil lucu, aku menaruh semuanya menjadi satu di tas depanku. "Tidak ada."

Si sempurna hanya bergeming.

"Nanti hilang," ucapku terus terang, "tidak bisa."

"Pinjam punyaku saja, Darren." Salah satu perempuan di depan mejaku, sebut saja Mawar, menawarkan pulpen merah muda berhias flamingo di puncaknya.

"Pakai punyaku saja." Seorang perempuan muncul di samping meja perempuan yang meminjamkan flamingo itu, namanya Anggrek, menyodorkan pulpen berwarna hitam.

"Aku yang menawarkan lebih dulu." Protes Mawar.

"Mana mungkin Darren pakai pulpen seperti itu." Anggrek mendengkus.

"Memang punyamu lebih bagus dari punyaku? Pulpenmu itu terlalu standar!"

"Pulpenmu itu yang terlalu jauh dari standar!"

Singkatnya, si sempurna bernama Darren selalu menjadi rebutan perempuan yang mengenalnya. Ngomong-ngomong, meski sekelas, aku tidak mengenal Darren. Aku bisa melihat visual dan kepintarannya, tapi aku tidak tahu bagaimana karakter aslinya.

Aku mencari kedamaian. Mencoba berguna dalam kelompok. Mengobrol saat diperlukan. Menolong karena suatu saat akan ditolong. Bersikap baik agar dibalas baik. Dengan begitu aku tetap punya teman tanpa musuh. Orang-orang akan memandangku normal yang pendiam. Normal yang introvert. Normal yang masa bodoh. Yang penting aku terlihat normal, kan? Tidak ada alasan khusus untuk lebih mengenal Darren.

***

"Sedang apa di sini?"Seorang lelaki tiba-tiba bertanya saat aku sedang bermain keran air di pelajaran olahraga.

Tidak kujawab. Darren, laki-laki itu menuju keran di sampingku untuk membasahi wajahnya yang terlihat lelah.

"Menang?" tanyaku. Aku sering gagalngobrol dengan lawan jenis tapi inilah gaya basa-basiku, "suara cewek di sana berisik sekali makanya aku ke sini."

"Menang." Dia selesai dan kembali menuju pinggir lapangan futsal.

Tidak heran para cewek teriak histeris mendukungnya, dia memang baik dalam olahraga. Daripada menyebutnya atletis, mari kita sebut Darren pemain cerdas. Dia benar-benar mengamati lawan dan bisa mengatur timnyauntuk mengikuti rencananya. Tidak begitu bekerja keras dalam hal fisik, semua gerakan yang dilakukan tidak ada yang sia-sia. Dia efektif dan bisa melihat peluang yang sulit disadari. Tapi yang terpenting dari semua itu, dia tampan.
Walaupun tidak dekat dengan laki-laki manapun, aku punya kesempatan untuk lebih mengenalnya karena hari itu, kami ada diperpustakaan.

Imaji dalam KataOnde histórias criam vida. Descubra agora