Sang Pengkhianat oleh Hanna A. Santoso

160 5 1
                                    

Sang Pengkhianat

Hanna A Santoso

"Seorang raja tak akan pernah menarik kata-katanya.Tak kubiarkan seorang pengkhianat menghancurkan Negeri Cahaya. Tangkap dan hukum mati semua pengkhianat negeri!"

***

Biru melemah. Bukan berarti dalam perang kali ini dia kalah dari musuh-musuhnya. Tak pernah sedikit pun dalam pikirannya sebuah kemenangan terasa begitu memilukan. Selama berjam-jam peperangan antara hidup dan matinya berlangsung di langit kelabu menghasilkan kenyataan pahit.

Langit pun mengerti, suasana hatinya saat ini tergambar jelas di atas kepalanya. Kelabu dan memilukan.

Ia telah menang telak dalam perang besar pertamanya sebagai Raja Negeri Cahaya. Rakyatnya menang. Patutnya ia bersukacita sebagai raja yang memberikan kemenangan atas rakyatnya, seorang penyelamat negeri. Namun, tidak dengan hatinya. Hancur lebur.

Dari sudut matanya, terlihat para prajurit yang ia bawa untuk perang ini bersorak atas kemenangan mereka hari ini. Dari jarak yang cukup jauh, ia bisa melihat panji-panji dikibas-kibaskan di udara. Riuh. Beberapa dari mereka bahkan melempar pelindung kepala baja mereka yang mungkin bisa saja jatuh mengenai temannya yang lain.

"Raja! Bawa sang pengkhianat itu ke sini! Kita bawa pulang dan kita penggal kepalanya dan kepala pengikutnya satu per satu!" seru seorang prajuritnya sementara yang lain menyahuti dengan sorakan-sorakan.

"Kita memiliki raja yang hebat!"

"Ayah Anda pasti akan bangga, Raja Biru!"

"Maaf hamba dulu telah meragukan Anda, Rajaku!"

Sangat beralasan jika dalam bayangan mereka Biru akan dengan gagah sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi layaknya seorang raja membopong kemenangan di pundaknya, berjalan menghampiri mereka, dan menyerukan kemenangan mereka atas Kerajaan Naga Hitam dan para pengkhianat yang selama ini menggerogoti kedamaian negerinya.

"Pengkhianat layak untuk di hukum mati!" pernyataan itu sangat Biru ingat betul telah terucap dengan lantang dari mulutnya di hadapan seluruh pasukan dan rakyatnya. Pernyataan yang tegas ia lempar begitu saja sebelum parang ini dimulai. Sebagai raja, Biru hanya ingin menegakkan keadilan bagi rakyatnya.

Ia begitu percaya, raja yang adil adalah raja yang membela kesejahteraan rakyatnya. Sebagaimana dirinya yang sangat membenci siapa pun yang merusak kedamaian negeri tercintanya.

Hati raja mana yang tak teriris melihat ribuan rakyatnya kehilangan nyawa dalam hitungan detik, dan masih ada ribuan lain yang terluka parah akibat penyerangan tiba-tiba oleh naga-naga ganas yang menyusup menembus perlindungan terkuat Negeri Cahaya.

Negeri Cahaya yang ia cintai hancur. Tidak ia temukan cahaya lagi dalam negeri itu. Sepanjang yang ia lihat hanya gelap, jeritan, tangisan, darah dan kematian. Sebuah mimpi buruk dalam semalam yang mengusik relung hatinya. Perih. Rasa kebencian pada siapa pun yang telah mengkhianati negerinya mengoyak tanpa ampun. Bahkan jutaan kebaikan yang mungkin dilakukan para pengkhianat tak akan mampu meredam amarahnya.

Dalam satu malam aku melihat mimpi yang tak pernah ada dalam angan. Sebuah mimpi yang dalamnya aku dibuat kalut tertutup kabut. Aku ingin terbangun segera. menghapus segala yang tampak pada pandangan.

Biru masih terpaku pada sosok yang tersungkur terlihat lemah di hadapannya yang masih berdiri dengan gagah memandang keji sekaligus pilu yang begitu dalam. Pemandangan ini bukan pemandangan kemenangan yang ia harapkan. Apa yang terjadi pada Negeri Cahaya malam itu tak sebanding dengan apa yang harus ia hadapi sekarang. Ia benar-benar ingin tebangun dari mimpi buruk ini. Segera.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now