Kick oleh David Rohadi

104 7 0
                                    

Rasanya mau mati saja.

Buk!

Lagi, sebuahtendangan menghantam bagian perutku.

"Masih kuat, Ge?" tanya Andrea penuh rasa simpati. Temanku sesama anggota ekskurikuler taekwondo itu gantian memasang badan. Sebisa mungkin menarik body protector yang dipakainya ke depan, guna meminimalisasi dampak hantaman antara kakiku dengan perutnya.

"Ghea, santai! Ok? Gue tau lo semangat banget untuk jadi juara porseninanti. Tapi gue sudah nggak kuat," ujarnya sebelum menahan napas.

Ucapan Andrea kubalas senyum masam. Bersemangat apanya? Juara apanya? Yang ada aku malah muak dengan taekwondo.

Tidak seperti Andrea, aku tidak suka menendang, apalagi ditendang.Aku melakukannya karena terpaksa, demi menuntaskan ambisi masa muda milik seseorang yang dia limpahkan padaku.

"Tahan ya, Dre!"Aku memasangkuda-kuda. Namun sebelum aku sempat melancarkan dollyo chagi dari samping, terdengar instruksi dari sabeum di sudut lapangan sekolah, menjadi pertanda berakhirnya sesi latihan sore ini. Andrea langsung mengembuskan napasnya yang sedari tadi dia tahan.

Para anggota ekskul taekwondo lantas menepi ke jajaran bangku panjang di pinggir lapangan. Di saat yang bersamaan, anggota ekskul sepak bola juga terlihat baru kembali dari lapangan lain di belakang sekolah.

"Padahal masih satu setengah bulan lagi, tapi kayaknya semua ekskul sudah bersiap untuk ikut porseni, ya." Andrea yang tengah melepas body protector mengajakku bicara.

Aku mengangguk, ikut menatap gerombolan anak ekskul sepak bola yang tengah dipandangi Andrea.

"Jangan mau kalah, Ge! Bukan cuma anak bola yang langganan juara. Anak taekwondo juga punya lo, Ghea di taekwondoin berbakat yang baru saja dapat medali emas di Jakarta Taekwondo Festival. Lo pasti bisa jadi juara lagi!"

"Aku nggak terlalu yakin Dre. Di porseni nanti lawan kita banyak banget. Ada puluhan SMA se-Jakarta yang ikut." Aku memang tidak terlalu yakin dengan hasil porseni nanti. Malah sejujurnya aku tidak benar-benar peduli. Aku hanya melakukannya karena terpaksa. Tidak ada pilihan. Bukan karena aku takut membantah keinginan orang itu. Tetapi karena aku takut membuatnya kecewa dan bersedih.

"Yang penting semangat. Gue juga nggak mau kalah. Kita sama-sama berjuang. Oke?" pungkas Andrea."Sekarang ganti baju, yuk."

Aku mengangguk malas, lalu berjalan di sisi Andrea menjuju toilet wanita untuk mengganti dobokdengan seragam sekolah sebelum pulang.

Aku selalu mengakhiri sesi latihan sore dengan perasaan hampa.Kakiku bergerak dengan sendirinya, mengayuh sepeda melewati gerbang sekolah. Sementara pikiranku dipenuhi pertanyaan; apakah yang kulakukan ini benar?Seandainya ini memang pilihan yang benar, kenapa menjalaninnya selalu membuatku merasa tersiksa? Kesimpulannya, taekwondo memang bukan passion-ku. Aku tidak menyukainya.

Untuk datang ke tempat latihan saja rasanya sangat berat, perlumengumpulkan niat terlebih dahulu. Sedangkan ketika pulang aku merasa semakin tercekik oleh kekangan yang membelengguku.

Saat-saat jelang kompetisi seperti sekarang membuat keadaan semakin parah.Latihan menendang target berubah jadi menendang badan sugguhan. Sudah kubilang kan, aku tidak suka menendang dan ditendang. Rasanya sakit, juga menyesakkan. Dan percampuran antara rasa sakit dan sesak membuatku ingin mati saja.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now