Bait Terakhir oleh Ade Agustia Putri

114 4 2
                                    


Tahun 1930

Suara riuh dari derap langkah kaki, putaran roda pedati, tapakan kuda, tak kunjung henti sejak tadi pagi. Hampir semua penduduk desa, beramai-ramai pergi ke wilayah pesisir di barat sana. Tidak ada bencana alam. Tidak ada monster yang menyerang. Ini hanya karena sebuah kabar yang datang bak hujan pertama di musim kemarau. Begitu luar biasa dan membuat semua orang bersuka cita dalam waktu sekejap. Ada sekelompok pelayar berkapal besar, yang mengaku datang dari masa yang akan datang.

Masa yang akan datang adalah suatu keganjilan—yang tentunya tak sungguh dimengerti—yang berakibatpadalahirnya rasa penasaranlebihdalam. Seakan rasa bingung telah teratasi, tersiar kabar bahwa para pedagang itu juga datang membawa sesuatu yang menarik. Yakni, berbagai macam makanan dan benda-benda unik yang berlimpah ruah. Pembawa kabartersebut, Andam, membentangkansebuahkaincantik di hadapan orang ramai. Permukaannya berkelip-kelip ganjil saat terkena sinar matahari, seakan ada secawan air yang tumpah dan menempel di sana, tanpa membasahi serat kainnya sendiri. Mengatakan bahwa itulah kain orang yang datang dari masa depan.

"Ayo beramai-ramai kita ke sana menukarkan sesuatu. Tak akan jumpalah orang-orang di daratan ini dengan benda semacam yang meraka bawa," tegas Andam, seakan dirinya sendirilah yang merupakan orang dari masa depan itu.

Andam pun mengeluarkan sekantong emasnya dari dalam baju. Katanya, benda tersebut dari hasil dagangnya dengan mereka. Dia pun juga menyampaikan, manusia dari masa depan itu mengundang semua orang di kampung ini untuk berpesta. Sebuah Perayaan Orang-orang dari Masa yang Depan,mereka memberi nama. Bentuk kemurahan hati dari mereka untuk semua penduduk desa. Cukup banyak yang terpengaruh oleh cerita serupa dongeng yang disampaikan Andam. Namun bapakku, Sutan Hamid, malah terlihat kesal mendengarnya.

"Mudah sekali mereka semua ditipu," ujar bapakku. Dia sama sekali tidak memercayai hal seperti itu.

Bapakku berusaha untuk membetulkan pemikiran orang-orang. Telah habis jua suaranya, menyoraki penduduk untuk tetap tinggal di rumahnya. Kabar indah seperti itu tak akan mungkin tak bercacat. Pastilah orang yang menjadi sumber kabar berpikir pula untung-ruginya, pikir bapakku.'Apa tujuan mereka menyampaikan hal seperti itu? Tidak seharusnya kita mengemis kepada orang asing yang tak tahu kita asal rimbanya,'kira-kira seperti itulah yang ingin Bapak sampaikan.

"Tak usahlah Sutan bersusah diri seperti itu," ujar ibu teman masa kecilku, Zakiah. "Kami hanya menuntut peruntungan, bukan berbuat yang meruntuhkan akhlak kami,"

"Aku tahu keluarga kalian berpendidikan," ujar Bapak Zakiah. Pastilah kata-katanya ditujukan padaku yang telah menamatkan pendidikan Algemeene Middelbare School (AMS) di Medan. Satu-satunya putera daerah yang bisa menamatkan sekolah hingga jenjang tersebut. Bahkan pendidikan tertinggi warga kampungku, tak sampai tamat Hollandsch-Inlandsche School (HIS).

"Tapi kami tentu tahu cara beda mana hitam, mana putih. Tak perlulah Sutan macam itu terus. Kami yang hidup berkesusahan ini, yang untuk makan saja harus menjemur diri berhari-hari, tak bisa disamakan dengan engkau Sutan."

"Ingatkah Sutan, dahulu banyak orang arab datang menukar emasnya dengan barus kita. Aku yakin mereka sama," tambah ibu Zakiah, sambil naik ke dudukan di samping suaminya di atas pedati.

"Aku dengar yang datang sekarang membawa senjata api. Seperti yang dibawa Belanda ke kampung di Selatan. Pelayar dahulu mana ada macam itu." Bapakku bergeming dengan pendiriannya.

Suara ketukan kaki kuda mendekat ke halaman rumah kami. Seekorkudacokelatberukurancukupbesar yang biasanya dibawa berdagang jauh, tampak ditunggangi oleh seorang pria berjenggot lebat.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now