FATE oleh Eria Nova

93 7 1
                                    

"Coba dulu saja, sepupuku baik kok. Aku jamin kamu pasti akan langsung menyukainya."

Itu tadi Dira yang masih saja berusaha menjodohkanku dengan sepupunya. Mungkin maksudnya memang baik, tapi aku tidak bisa bohong karena dia selalu melakukannya dengan cara memaksa. Kupikir itu karena dia terlalu khawatir aku satu-satunya yang masih belum punya pacar di antara sahabat-sahabatku. Sementara kenyataannya sebentar lagi aku lulus dari universitas.

"Kamu nggak mendengarkanku, ya?" dia menatapku cemberut.

Sepertinya dia tahu aku tidak begitu berminat dengan topik pembicaraan kali ini. Dira ini tidak tahu,mengerjakan skripsi saja sudah membuatku pusing, aku tidak bisa lagi memikirkan hal lain selain skripsi, apalagi pacar. Lagipula, aku sudah naksir seseorang. Ah, mengingatnya saja sudah membuat jantungku berdebar-debar.

"Kamu tahu, kamu itu menyeramkan saat tiba-tiba tertawa sendiri seperti itu," ucap Dira membuatku tersadar.

Aku menyerutup float-ku agak banyak sampai kepalaku juga ikut terasa dingin. "Dengar, ya,Indira, bukannya aku menolak atau bagaimana tapi kamu tahu kan kalau dosenku itu agak rumit jalan pemikirannya. Aku harus mencocokkan isi kepalaku dengan beliau kalau mau skripsiku selesai. Menurutmu apa aku punya waktu untuk memikirkan hal lain selain skripsi?"

"Bohong," tuduhnya sambil menyipitkan matanya. Dia menatapku tidak percaya. "Memangnya aku ini baru kemarin mengenalmu? Kamu pikir aku nggak tahu kalau ada sedikit saja yang berubah pada dirimu?"

"Apa sih maksudmu?" tanyaku tidak mengerti maksud ucapannya.

"Kamu sekarang berubah. Jadi lebih sering senyum-senyum sendiri. Itu tandanya kamu sedang bahagia. Hayo, kamu pasti sedang naksir seseorang."

Aku memutar bola mataku."Oh ayolah, memangnya kalau senyum itu artinya aku sedang naksir cowok."

Dira terdengar tidak puas dengan jawabanku. Kuakui instingnya memang bagus. Dira masih saja menatapku dengan penuh selidik. Kalau aku menatap matanya lebih lama, aku takut dia akan bertanya macam-macam. Pikirku kalau sudah saatnya, pasti aku akan cerita soal dia, si taro bubble.

Aku bertemu dengannya sekitar satu bulan lalu di tempatku bekerja part time. Si taro bubble, maksudku. Saudara sepupu ibu atau yang biasa kupanggil 'Budhe' punya kafe di sekitar kampus. Di jam-jam tertentu, kafe ini ramai oleh anak-anak kampus. Budhe yang sering kerepotan, meminta bantuanku untuk bekerja paruh waktu di sana. Mumpung aku sedang mengerjakan skripsi, jadi waktu kosongku lebih banyak. Upah yang kuterima juga lumayan. Jadi, aku langsung mengiyakan tawaran Budhe saat itu.

Kembali lagi ke topik tentang 'dia'. Dia datang bersama dengan empat orang teman laki-lakinya untuk memesan kopi. Yah, waktu pertama kali melihatnya, kuakui dia punya visual yang di atas rata-rata. Tapi bukan itu yang membuatku tertarik padanya. Dari 5 pesanan itu, 4 gelas memesan iced americano dan satu gelas memesan taro bubble drink. Salah satu menu di tempat kami yang terkenal karena rasanya yang manis.

Dan ternyata, yang memesan minuman itu adalah dia. Entah kenapa hal itu membuatnya terlihat manis. Aku berpikir bahwa cowok yang menyukai segala sesuatu yang manis pastilah memiliki kepribadian yang manis juga. Sama seperti kesan pertama yang dia tunjukkan kepada siapapun yang melihatnya untuk pertama kali. Tapi itu saja, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi setelah itu. Aku pun sudah hampir melupakan tentang sosoknya.

Tapi ternyata kita memang tidak pernah tahu rahasia 'takdir'.

Satu bulan setelah pertemuanku dengannya, aku melihat dia lagi untuk yang kedua kali. Aku ditugasi untuk meliput acara pekan olahraga universitas. Meski sekarang sedang mengerjakan skripsi, aku masih aktif di tim jurnalis fakultas. Jujur saja, bisa dikatakan aku alergi dengan sesuatu yang bernama olahraga. Tapi mau tidak mau harus duduk selama berjam-jam melihat 10 orang berebut bola lari ke sana kemari untuk dapat mengabadikan momen yang bagus.

Imaji dalam KataOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz