Melody from My Heart oleh Fika Widya Sari

153 10 2
                                    

Pandangnya telah lama meneliti tiap inci atas segala sesuatu yang ada di dalam ruangan. Dinding bercat kuning gading, lantai kaca oranye yang seakan berpendar dengan pancaran cahaya dari beberapa lampu yang menggantung di langit-langit, lilin-lilin di beberapa sudut yang dimatikan, dan juga patung-patung beserta miniatur yang terdapat di dalam restoran ternama di Tokyo tersebut. Semua pemandangan itu memanjakan matanya, terlihat lembut dan indah—semuabenda-benda di sini memang pilihan.

Namun meski begitu, tak dapat dimungkiri jika semua itu juga membuatnya bosan. Pemandangan itu tetap sama seperti hari-hari lalu, para pengunjung, pelayan, para koki, dan pernak-pernik di beberapa sudut. Teringin dirinya untuk menemukan sesuatu yang kiranya dapat menghilangkan rasa bosannya. Dan jikalau ada juga bisa membuat hatinya bahagia.

Aika, dalam balutan dress ungu gelap, dengan high heels ungu tua dengan panjang lima senti, rambut yang dibiarkan tergerai mencapai pinggangnya ketika ia terduduk di kursi yang tersedia di meja kasir. Biasanya, ketika ia berada di restoran ia hanya bertugas mengamati kerja para pelayan atau sekadar untuk menikmati makanan buatan koki di sini. Tapi hari ini tidak, ia ditugaskan ibunya untuk menangani urusan keuangan sementara karena wanita yang biasanya menjadi kasir ijin tidak masuk.

"Selamat datang di restoran kami, Tuan."

Satu kalimat itu bagaikan lullaby pengantar tidur yang selalu ibundanya nyanyikan sewaktu dirinya kecil―selalu dan selalu terdengar ketika dirinya berada di dalam restoran ini setiap harinya. Dan adegan selanjutnya sudah bisa ia terka, akan ada satu atau beberapa figur yang melenggang memasuki restoran, duduk dan setelahnya memesan makanan. Itu sudah terlampau biasa di matanya, dan jujur, Aika cukup bosan dengan pemandangan itu. Tapi bukan berarti Aika tidak suka jika orang-orang berdatangan ke restorannya! Tidak, ia justru senang jika banyak pengunjung di sini. Hanya saja ia bosan, karena ia tak mengenal satupun dari sekian banyak pengunjung yang berdatangan ke restorannya.

"Kami mohon maaf, Tuan. Semua meja di lantai satu sudah penuh. Mari, saya antar ke lantai dua."

Aika mengernyit, matanya menjelajah dengan liar sebelum terhenti pada sesosok pemuda yang amat dikenalnya tengah berdiri bersama salah satu pelayan. Keduanya berjalan beriringan menaiki tangga menuju lantai dua. Euforia kegembiraan bergejolak dalam hati. Tanpa sadar bibirnya menekuk seulas senyum tipis, dirinya bangkit berdiri menunggu pelayan wanita yang tadi melayani pemuda tersebut kembali. Bukan karena apa, ia hanya ingin menghampiri pemuda tadi seorang diri tanpa gangguan orang lain. Hanya itu

"Eh, mau ke mana, Aika-san?"

Aika baru akan beranjak menuju tangga ketika dilihatnya sang pelayan telah kembali dan menuju ruang koki. Namun, langkahnya terhenti karena pertanyaan yang dilontarkan oleh pelayan lain, Sheiya.

"Menemui seseorang."

"Oh, yang di lantai dua tadi, ya? Silahkan. Aika-san mau sesuatu untuk diminum?"

Diam sejenak. "Ice coffe."

"Baik, segera datang."

Aika kembali tersenyum ketika Sheiya melangkah meninggalkannya. Dinaikinya satu demi satu anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua dengan semangat. Tak memedulikan besarnya kemungkinan untuk jatuh atau terpeleset dengan high heels yang dipakainya. Lagipula itu tak akan terjadi, karena ia sudah terbiasa memakai highheels seperti ini dalam keadaan apa pun.

Sudah amat lama dirinya tak bertemu dengan pemuda tadi. Jika dihitung sekitar tujuh tahun semenjak kali terakhir perempuan mereka. Yaitu saat dirinya menginjak umur tujuh belas tahun, tahun keduanya di SMA. Aika mendengar beberapa kabar tentang pemuda itu dari kakak dan beberapa orang temannya, tentang keberhasilannya memimpin perusahaan milik keluarga. Dan tentang cita-cita menjadi seorang dokter yang pupus di ambang kelulusan SMA.

Imaji dalam KataWhere stories live. Discover now