Part 4 : Pindah Rumah

22.8K 1.3K 31
                                    

Terkadang aku heran. Kenapa, sih, aku diciptakan menjadi aku. Kenapa aku bisa menjadi aku? Kenapa aku menggerakkan tubuh ini? Kenapa aku terlahir di keluarga ini? Kenapa aku hidup di zaman ini?

Padahal Tuhan bisa saja menciptakan
aku menjadi Dewi Persik. Tuhan bisa saja menjadikanku Nagita Slavina istrinya Raffi Ahmad. Tuhan bisa saja menghadirkanku ke dunia pada zaman listrik belum masuk ke desa-desa. Itu zaman pas dunia ini masih indah-indahnya. Tidak ada handphone, sosmed, internet dan semacamnya yang katanya multifungsi padahal penuh dengan kesesatan yang menghancurkan dunia ini.

Tapi inilah takdirku. Takdir yang harus aku jalani menjadi aku. Orang lain tidak bisa menjadi aku, dan akupun tidak akan pernah bisa menjadi orang lain.

Setelah dibujuk abi sampai satu jam lebih akhirnya aku menuruti permintaan beliau untuk menyusul Reyhan di rumahnya. Mungkin makhluk menyebalkan itu sedang ngambek karena mendengar perkataan umi. Dan, aku harus menuruti perintah abi untuk menjadi penengah konflik antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo yang berselisih paham padahal saling membutuhkan. Seperti itulah kira-kira penggambaranku tentang kejadian pagi ini. Konflik batin antara aku Reyhan, abi, dan umi. Kalau umi membela aku, abi lebih membela Reyhan karena ingin balas budi dengan ayahnya.

Aku tercengang setelah abi memberhentikan motornya di sebuah tempat pembuangan sampah yang baunya menyengat sampai ke rumah para koruptor. Mungkin bau busuk inilah yang membuat polisi mampu mencium bau para pejabat yang memakan uang rakyat.

"Benar ini rumahnya, Abi?" tanyaku memastikan sambil melepas helm yang aku kenakan.

Abi mengangguk kemudian melangkah lebih dahulu memasuki sebuah gang tepat di sebelah tempat pembuangan sampah yang menumpuk seperti gunung.

"Umi mengalami pendarahan saat kandungannya masih berusia 8 bulan sehingga terpaksa kamu harus dilahirkan secara ceasar. Setelah kamu lahir, umi tak sadarkan diri karena terus mengalami pendarahan yang tidak kunjung berhenti akibat lemahnya kontraksi otot rahim."

Aku terdiam, sudah pernah mendengar cerita ini dari umi. Tapi umi tidak menceritakan bagian abi yang meminjam uang ke pak Burhan. Sepertinya abi merahasiakan hal itu dari umi.

"Abi butuh uang 12 juta untuk biaya operasi. Pakde dan budemu tidak bisa meminjami uang, karena zaman dulu uang segitu terbilang besar. Untung saja abi bertemu pak Burhan yang datang ke Jakarta mengantar ayahnya operasi penyakit dalam. Kata pak Burhan uang hasil menjual sawahnya masih sisa 15 juta. Abi akhirnya meminjam uang itu, walaupun abi tidak tau bagaimana cara membayarnya.

"Pak Burhan kembali ke kampung, dan Abi tidak tau bagaimana cara menghubunginya. Entah di mana kampungnya abi tidak tau."

Aku melangkah sambil mendengar cerita abi yang sedikit panjang.

"Kata pak Burhan, beliau akhirnya pindah ke Jakarta untuk mencari kerja, karena di kampung dia tidak punya sawah untuk mendapat penghasilan. Dan di sinilah sekarang beliau tinggal. Apa abi salah membalas budi pak Burhan dengan menghadiahkan kamu menjadi menantunya?"

Aku masih menutup bibirku rapat-rapat. Kami sudah sampai di depan rumah Reyhan yang terlihat begitu kumuh dan tidak terurus. Pantas saja Reyhan sering terlambat berangkat sekolah. Karena harus berjalan jauh untuk menuju ke jalan raya memesan angkot.

Tampak pak Burhan memakai baju dekilnya keluar dari rumah. Sepertinya beliau akan berangkat bekerja menjadi kuli bangunan. Jam masih menunjukan jam 07.20.

"Pak Aziz, Salisah?" ucapnya terkejut melihat kedatanganku dan abi.

"Apa Reyhan pulang ke sini?" tanya abi sambil berjabat tangan dengan pak Burhan. Aku pun mengikuti abi dengan mencium tangan pak Burhan.

Pak Burhan terdiam beberapa saat lalu menoleh ke arah rumahnya. "Iya, dia ada di dalam. Nggak bisa di ajak ngomong, ditanyain diam terus. Emang kenapa?"

"Mungkin ngambek, Pak," tebakku, aku tidak bisa menceritakan kepada pak Burhan kalau Reyhan mungkin sakit hati dengan ucapan umi.

"Yaudah Salisah cepat samperin Reyhan," ujar abi kemudian berbincang-bincang dengan pak Burhan.

Aku menurut, bukan karena sudah menganggap Reyhan suamiku, tapi karena aku tidak mempunyai pilihan lagi.

Kubuka pintu dengan pelan. Rumahnya terlihat begitu sempit. Bahkan tidak ada kamar sama sekali, hanya ada ruangan kecil untuk memasak dan satu lagi untuk kamar mandi. Reyhan berbaring sambil memainkan game online di ponselnya.

Aku menghampirinya lalu berjongkok di depannya. Bukan sebagai seorang istri, aku melakukan ini sebagai seorang guru. "Kenapa kamu pulang?" tanyaku dengan wajah memelas.

Reyhan terdiam masih fokus dengan ponselnya.

"Kamu ngambek, ya?" Aku menyenggol lengannya, tapi Reyhan hanya bergeming.

Aku menghela napas. Dasar anak-anak! Kenapa dia menjadi suamiku, sih? Tuhan jodohku salah, aku protes!

"Maafin umi, ya?" ucapku lembut.

Reyhan menoleh ke arahku. "Siapa yang ngambek?"

"Kamu?"

"Enggak, kok, aku cuma pengen sekolah lagi, Bu." Reyhan kembali fokus ke ponselnya.

"Yaudah belajar sama aku aja. Aku juga sudah tidak mengajar lagi."

Reyhan melirik ke arahku sekilas. "Nggak lah, kalau lihat ibu pikiranku jadi ngeres." Aku langsung mengerucutkan bibir.

"Makanya aku pulang saja," lanjut Reyhan.

"Kata abi kamu suruh tinggal di sana," ucapku terpaksa.

"Bukan Bu Salis, kan, yang nyuruh?" Reyhan balik bertanya. "Kita nikah cuma buat syarat aja, tinggalnya nggak usah barengan. Tapi ibu cari makan sendiri nggak usah minta sama aku."

Yee, siapa yang mau minta nafkah sama kamu? Aku mendengus dalam hati. Makhluk aneh ini mulai menyebalkan. "Kenapa kamu menerima perjodohan ini?"

Reyhan meletakkan ponselnya kemudian merubah posisinya menjadi duduk. Aku sedikit mundur untuk jaga jarak. "Satu kelas siapa, sih, yang nggak naksir ibu?" Aku terdiam.

"Aku suka sama ibu karena cantik. Tapi, sepertinya ibu tersiksa dengan status ini. Jadi aku menyesal sudah menikah."

"Menyesal karena sudah putus sekolah?" tanyaku merasa bersalah.

"Enggak. Aku menyesal karena nggak bisa nyentuh ibu."

Tok!

Aku langsung menjitak kepalanya. Membuat Reyhan meringis sambil mengusap-usap kepalanya.

"Yaudah, nikah kan cuma syarat. Jadi kehidupan kita tetap berjalan seperti biasa. Nggak usah lebay tidur satu kamar kayak orang nikah beneran." Aku berucap ketus.

"Kalian memang nikah beneran, kok." Sahut suara di ambang pintu membuat aku dan Reyhan langsung menoleh secara serempak.

"Kalian berdua akan tinggal di kontrakan. Pak Burhan sudah memberimu uang untuk menyewa kontrakan, kan, Salis?" tanya abi. "Nanti Abi tambahin buat keperluan yang lain."

"Saya mau berangkat kerja dulu. Kalian akan dibantu pak Aziz untuk pindahan," pamit pak Burhan.

Aku terperangah dengan mulut yang menganga selebar gua. Kemudian menoleh ke arah Reyhan yang terdiam dengan wajah datarnya.

"Siapa yang akan ngasih makan aku, Abi?"

Abi tersenyum sambil menunjuk Reyhan. "Suami tercintamu."

Idih. Aku bergindik jijik mendengar ucapan itu. "Emang dia bisa cari uang?"

"Bisa, buat beli rokok sama paketan," sahut Reyhan dengan nada menyebalkannya. Aku geregetan ingin memukul Reyhan lagi.

Abi tertawa. "Kamu harus belajar dewasa Reyhan. Sekarang kamu punya harta berharga yang bisa kamu manfaatkan untuk mendapatkan ilmu dan juga akses untuk menuju ke syurga."

Abi beralih ke arahku. "Kamu harus belajar menerima Reyhan apa adanya, Salis. Ajari dia ilmu agama agar bisa menjadi imam yang baik. Karena pernikahan adalah sunahnya nabi Muhammad, kalian tidak boleh main-main." Aku masih membeku di tempatku.

"Ayo kemasi pakaianmu Reyhan. Nanti Abi cariin kontrakan."

Bersambung...

Salah JodohWhere stories live. Discover now