Part 15 : Reyhan Azan

22.7K 1.2K 19
                                    

Aku menghampiri Reyhan yang duduk terdiam menatap suasana luar lewat jendela. Wajahnya terlihat sendu sejak kejadian di sekolah pagi tadi.

"Kamu udah makan?" tanyaku sambil memegang pundaknya. Dia hanya menggeleng sambil menghela napas berat.

"Makan dulu, nanti perutnya sakit." Lagi-lagi Reyhan hanya membalasnya dengan gelengan tanpa menoleh ke arahku.

Aku menggigit bibir. "Kamu menyesal, ya, udah menikah denganku?" tanyaku sambil duduk di sebelahnya.

Reyhan menoleh ke arahku dengan wajah murungnya. "Kenapa Bu Salis ngomong gitu?" tanyanya dengan suara serak.

"Buktinya kamu ngamuk-ngamuk di sekolahan ingin bunuh Pak Sarkani?"

"Bu! Kita ditindas!! Kita difinah!! Masak kita diam saja, sih!!!" bentak Reyhan dengan mata tajamnya. Aku langsung terdiam karena takut melihat wajah Reyhan yang mengerikan. Aku meneguk ludah ku dengan susah payah.

"Justru aku yang harusnya bertanya. Kalau Bu Salis tersiksa dengan pernikahan ini, jangan memaksakan diri hidup denganku karena hal itu membuatku semakin merasa bersalah, Bu!!" lanjutnya dengan nada yang sama.

Entah kenapa aku ikut naik pitam. "Kenapa kamu merasa bersalah?! Kita berdua adalah korban!! Jadi, tidak ada yang salah di antara kita!!" ucapku dengan ngotot.

"Untuk itu biarkan aku memberi pelajar kepada pak Sarkani dan Bu Santi." Reyhan menatapku dengan rahang yang mengeras.

"Untuk apa? Untuk mengembalikan waktu?! Kamu nggak bisa Rey, segala sesuatu yang sudah terjadi nggak bakalan bisa terulang kembali!!!" bentakku dengan napas tersendat-sendat.

"Manusia hidup hanya untuk saling balas dendam. Dunia ini kejam, Bu, kalau tidak jadi penjahat kita akan tertindas!!" Reyhan menggeram.

"Kita hidup untuk menjalani takdir yang sudah digariskan!! Seburuk dan sabaik apa nasib kita, kita tidak bisa memilih. Yang perlu kita lakukan hanya bertahan hidup, beribadah, dan menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Karena itu islam ada." Aku menatap Reyhan tak kalah sengit. Pribadi dan karakter yang berbeda menghasilkan filosofi yang berbeda pula.

"Meskipun begitu. Aku tetap akan memberi pelajaran kepada pak Sarkani dan Bu Santi," desisnya lirih, seperti ular yang bersuara.

"Rey!"

"Itu rencana bagusku untuk Bu Salisah."

"Kamu bisa..."

"Aku tidak akan pernah menarik kata-kataku!" Reyhan terus menyela ucapanku.

"Kamu!!!"

"Ini adalah rencana awalku untuk masa depan Bu Salisah."

"Kamu bisa dibilangin nggak, sih?!" Emosiku sudah meletup-letup sampai aku tidak sadar sudah mendorongnya sampai menabrak tembok. Entahlah, aku sangat khawatir jika terjadi sesuatu kepada Reyhan karena nekad memberi pelajaran kepada pak Sarkani dan Bu Santi.

"Ini bukan tentang Bu Salisah adalah pendamping hidupku. Tapi karena takzdimku kepada guru." Reyhan berdiri meninggalkanku yang masih terdiam kaku di dalam rumah. Aku tidak tau dia akan pergi kemana.

***

Aku hendak bersiap-siap akan ke mushola untuk melaksanakan solat magrib. Sementara Reyhan dari tadi siang belum kembali lagi ke rumah. Padahal dia belum makan sejak tragedi di sekolah beberapa waktu yang lalu. Rasanya kepalaku seperti pecah menghadapi permasalahan yang seharusnya tidak dijadikan masalah ini. Hanya Reyhan saja yang mempersulit diri sendiri. Tapi, mungkin jiwa seorang pemuda memang seperti itu. Tidak mau mengalah.

Kulihat ada bekas jejak kaki di lantai. Aku langsung mendengus. Melihat lantai yang baru dipel diinjak-injak oleh kucing. Aku menaikkan sebelas alis ku setelah meneliti noda bekas jejak kaki itu. Sepertinya bukan jejak kaki kucing, melainkan manusia. Berarti kucingnya Reyhan.

Aku melangkah ke dapur membuka lemari makanan. Tempe goreng dan sayurnya berkurang. Aku tersenyum mungkin Reyhan tadi menyelinap masuk ke rumah saat aku sedang tidur. Hmm, sekali bandel akan tetap bandel dan akan selalu jadi anak bandel. Setidaknya aku lega karena Reyhan sudah makan. Tapi, ngomong-ngomong sekarang anak itu ada dimana? Aku tidak melihat kehadirannya di setiap sudut rumah.

Hari sudah petang, aku harus segera menuju ke mushola sebelum iqomat. Aku memelankan langkahku tatkala mendengar suara adzan yang berbeda dari sebelumnya. Suaranya tidak semerdu suara Azka. Biasanya Azka yang jadi muadzin saat solat magrib. Ini siapa? Suaranya terdengar lucu. Kadang tersendat-senda hampir tersedak karena mengeluarkan suara terlalu panjang.

Aku sedikit berlari menuju mushola ingin tau siapa yang mengumandangkan adzan. Aku sampai tak sadar menabrak ibu-ibu yang akan masuk ke dalam mushola hanya untuk mengintip si muadzin yang sedang mengumandangkan adzan tersebut. Tubuhku terasa panas-dingin, lalu seperti ada kupu-kupu yang menari-nari di dalam perutku. "Rey..., Reyhan?"

Aku ingin tertawa, bukan tertawa mengejek tapi tertawa bangga karena melihat Reyhan berani menjadi muadzin. Hanya melihat perubahannya saja aku sudah sangat bahagia.

Aku kemudian masuk ke dalam mushola, bergabung dengan para jamaah wanita yang sudah menempati shafnya masing-masing. Ibu-ibu itu tertawa mendengar suara jelek Reyhan. Tapi aku malah bahagia karena akhirnya berani mengumandangkan adzan. Rasanya bahagiaku melebihi perasaanku saat bertemu kembali dengan Azka. Aku jadi senyum-senyum sendiri.

Setelah solat jamaah selesai. Aku menunggu Reyhan pulang. Sifa menepuk pundakku lalu tersenyum. Wajahnya terlihat manis mirip seperti Azka. "Adik Bu Salis yang songong itu adzannya lucu." Sifa terkikik.

Aku tersenyum. "Kok, kamu manggil Reyhan songong?"

"Iya, kalau aku sapa nggak pernah jawab. Aku dekati malah pergi. Udah gitu kata Kak Azka, Kak Reyhan selalu nolak jika ditanyain tentang keluarga. Sepertinya Kak Azka mau nanyain tentang Bu Salisah." Sifa tersenyum. "Tapi Reyhan nggak bisa diajak kompromi sebagai calon adik ipar."

Aku tersenyum kikuk. Lagi-lagi kebohongan ini membuatku tidak nyaman. Ingin rasanya aku berkata jujur kepada Sifa dan Azka, kalau aku dan Reyhan adalah suami istri. Tapi lidahku terasa kelu. Ada dua rasa yang membuatku dilema, tentang hubunganku dengan Reyhan yang mulai menyenangkan dan tentang Azka yang sepertinya punya rasa terhadapku. Aku pilih terjun ke kebahagiaan yang mana?

"Gimana matematika kamu?" tanyaku mengalihkan perhatian.

"Alhamdulilah, sih, walaupun nilainya belum memuaskan setidaknya ada kemajuan." Sifa tersenyum.

"Pelan-pelan dinikmati, fokus, dan jangan menyerah." Aku menyemangati.

"Besok aku minta diajarin cara menghitung cepat akar kuadrat bisa, Bu?" tanya Sifa antusias.

"Iya, besok ibu ajarin." Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Aku pulang dulu, ya, Bu," pamitnya kemudian pergi dari hadapanku.

Aku menghela napas. Entah sampai kapan aku akan menutupi kebohongan ini dengan kebohongan lagi. Aku kembali menoleh ke dalam mushola, rupanya Reyhan langsung ikut anak-anak kecil mengaji dengan Azka. Azka sempat melirik ke arahku kemudian fokus ke arah murid-murid yang ia ajar. Lebih baik aku pulang menjaga pandanganku dari Azka.

Bahagia sekali rasanya melihat Reyhan berubah. Berubah menjadi lebih baik. Hanya saja perasaanku yang tidak berubah. Perasaanku ini tak lebih dari perhatian guru yang berusaha merubah muridnya menjadi lebih baik.

Bersambung...

Salah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang