Part 8 : Hujan

21.2K 1.3K 59
                                    

Umi, Abi, Anna, dan Nabil baru saja pulang. Abi bilang kalau Reyhan belum pulang sampai magrib, kabari saja orang rumah, nanti Anna dan Nabil akan diantar untuk menemaniku tidur.

Entah mengapa aku jadi sepanik ini memikirkan keberadaan Reyhan. Seharusnya aku senang kalau dia kabur karena belum siap membangun rumah tangga denganku. Tapi perasaanku sulit dimengerti, mungkin aku terlalu khawatir menjadi janda muda.

Terdengar gemerisik hujan di luar sana. Hari sudah sore, matahari turun dari singgasahsana menyinari bumi bagian lain. Di depan rumahku tampak gelap gulita diiringi hujan yang turun begitu deras, semakin menyeramkan jika aku berada di rumah sendirian. Aku mengintip di balik jendela. Beberapa tiang lampu dan rumah tetangga-tetanggaku mulai dinyalakan. Asik sekali mungkin, sore hari menikmati hujan turun bersama keluarga kecil yang bahagia, menyantap cemilan sambil meminum teh hangat. Memikirkan hal itu aku jadi ingin pulang. Andai saja jarak rumahku dengan rumah umi tidak jauh.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah rumah megah di samping warung. Ada tiga mobil yang terparkir di depan rumah tersebut. Ah, beruntungnya jika aku jadi istri Azka, kang santri yang aku bangga-banggakan.

Mungkin hujan seperti ini akan menjadi momen yang sangat indah. Azka akan menjadi imam solat magribku, kemudian ngobrol bareng di kamar sambil menceritakan hal apa saja yang sudah kita lalui hari ini. Berlanjut ke solat isya kemudian membaca Al-qur'an bersama-sama lalu istirahat untuk menghadapi esok hari yang lebih indah.

Aku menghela napas. Andaikan waktu bisa diputar kembali aku tidak ingin menjadi orang dewasa. Lebih baik menjadi anak kecil saja yang bisa bahagia hanya karena melihat hujan. Apa jodohku salah, Tuhan? Apa aku tidak bisa memilih?

Petir menyambar-nyambar dengan ganas. Aku merinding karena di rumah sendirian. Aku hendak menelpon abi untuk mengantarkan Anna dan Nabil ke sini. Namun tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar. Siapa gerangan yang bertamu hujan-hujan begini?

"Ya ampun Reyhan?" Aku terkejut begitu melihat sosok Reyhan dengan tubuh basah kuyup di teras rumah.

Keadaannya terlihat memprihatinkan. Bajunya terlihat kumal, entah dari mana dia sejak pagi. "Cepet masuk!" ucapku sambil mendorong Reyhan ke dalam lalu menutup pintu.

"Kamu habis dari mana?" tanyaku cemas. Tapi Reyhan tidak menjawab karena menggigil kedinginan. Wajahnya terlihat begitu pucat, bibirnya memutih, seluruh tubuhnya gemetaran.

Aku buru-buru mengambil handuk untuk menyelimuti Reyhan, lalu mendorongnya ke kamar mandi. "Cepetan mandi dulu!"

Aku menggigit jari telunjukku sambil mondar-mandir menunggu Reyhan selesai mandi. Dia sudah keluar dengan hanya memakai handuk, lalu pergi ke kamar untuk berganti baju.

Aku menyalakan kompor gas untuk membuatkannya teh hangat, lalu menuju ke kamar menghampiri Reyhan.

"Rey, kamu udah ganti baju?" tanyaku sambil mengetuk pintu. Tapi tetap tidak ada jawaban. Aku memberanikan diri membukanya. Kulihat Reyhan menyelimuti dirinya dengan selimut di pojok ranjang. Ia begitu kedinginan. Terlihat dari sekujur tubuhnya yang bergetar serta bibirnya yang bergemelutuk.

"Minum teh, biar hangat." Aku membantu Reyhan untuk meminum teh itu. "Berbaring aja nggak usah duduk."

Reyhan menggeleng. "A...,_ aku laper," gumamnya dengan suara serak.

Aku termenung sejenak kemudian bergegas menuju ke dapur mengambilkan Reyhan makan. Untung tumis kangkungku belum basi. Aku menyodorkan sepiring makanan itu ke arah Reyhan.

Reyhan menggeleng. "Aku nggak doyan sayur kangkung."

Aku menepuk jidat, kemudian menghela napas. "Adanya sayur ini."

Salah JodohWhere stories live. Discover now