Part 7 : Reyhan Hilang

21.5K 1.2K 21
                                    

Aku baru bangun pukul 6.30. Sejak kemarin aku memang sedang berhalangan sehingga tidak melaksanakan solat subuh. Entahlah, Reyhan melaksanakan solat atau tidak, yang jelas aku tidak menemukannya di sofa ruang keluarga tempat dia tidur.

"Reyhan!" panggilku. Di dapur juga tidak ada.

"Ke mana, sih, itu anak." Aku mendengus.

"Reyhan!" teriakku namun tidak ada jawaban. Padahal aku hanya ingin bertanya dia mau makan apa hari ini.

Aku menghembuskan napas, kemudian mengganti pakaian tidurku dengan gamis Balotelli berwarna biru cerah berkombinasi merah, setelah itu pergi ke warung untuk membeli sayur dan beras.

Aku membeli sayur kangkung, tempe, minyak goreng, bumbu-bumbu dapur, dan beberapa mie instan untuk persediaan nanti malam. Untung saja Reyhan memberiku uang 450 ribu. Kalau tidak, mungkin aku sudah pulang ke rumah umi untuk minta makan.

Bahan belanjaan yang baru saja aku beli terjatuh ke aspal. Tubuhku terasa beku dan sulit untuk digerakkan. Aku meneguk ludahku dengan susah payah, melihat sosok itu. Sosok yang selalu aku sebutkan di sepertiga malam. Namanya selalu aku selipkan dalam doa.

"Ka... Kang Santri?" gagapku dengan tubuh kaku.

Jujur, aku tidak pernah bertatapan langsung dengannya di pesantren. Jangankan ngobrol, saling menyapa saja jarang. Aku hanya salah satu dari pengagum rahasianya. Ya, aku hanya seorang figuran yang mencintai ketampanannya dalam diam. Aku adalah seorang stalker akut yang sering memperhatikannya dari jauh. Dia adalah santri abdi ndalem, jadi aku sering sekali memperhatikannya bersih-bersih di depan rumah abah kiayi. Aku rela mengintip saat dia tadarus di dalam masjid. Kadang aku menghentikan aktifitasku jika mendengar suara adzannya yang begitu merdu.

Dan sekarang aku bertemu dengannya lagi. Hanya berdua. Bukan di lingkungan pesantren yang membatasi interaksi antara santri putra dan santri putri. Tapi di alam terbuka yang berarti kebebasan. Dengan artian lain aku bebas untuk mengajaknya berkenalan, tukar nomor WA, ataupun ngobrol bareng. Dia bukan anak kiyayi yang membatasi pergaulan, dia pasti juga butuh interaksi untuk mendapatkan jodohnya. Yang aku heran kenapa dia bisa ada di sini? Apakah doaku selama ini terkabul? Apakah kang santri tau kalau aku mencintainya? Sungguh, aku sama sekali tidak menyangka setelah tiga tahun boyong dari pesantren aku kembali bertemu dengan pria yang aku idam-idamkan.

Aku tersadar dari lamunan setelah dia menghampiriku lalu berjongkok memunguti bahan belanjaanku yang jatuh berserakan.

"Dulu aku sering lihat kamu di pesantren," ucap Azka, namanya sambil berjongkok memunguti belanjaanku.

Aku ikut berjongkok untuk membantunya. Aku merasa canggung untuk berbicara. "Udah boyong dari pesantren, Kang?" tanyaku.

"Udah satu tahun. Kamu sendiri, kok, ada di sini?" tanyanya menatapku.

Astagfirullah, aku langsung membuang muka. Tatapannya seperti laser. Kulihat Azka juga beristigfar. Sepertinya dia juga khilaf menatapku.

"Aku sekarang tinggal di situ." Aku menunjuk rumah kontrakanku di seberang jalan.

"Wah, dekat sama rumahku." Azka menunjuk sebuah rumah megah di samping warung tempat aku belanja tadi. "Tetanggaan kita?"

Aku tersenyum kikuk, kemudian berdiri setelah barang-barangku yang terjatuh sudah kembali ke kantong plastik.

"Dengar-dengar setelah boyong kamu kuliah sambil ngajar?"

Aku tersanjung. "Kok, bisa tahu, Kang?"

"Aku sempat ketemu sama temen kamu yang namanya Fany. Terus ngobrol-ngobrol gitu."

Wah, wajahku pasti sudah memerah. Aku tersipu malu karena mengira dia tanya-tanya soal aku kepada Fany. Aku yakin kang santri belum pernah melihat videoku yang viral beberapa waktu yang lalu. Karena Facebooknya nggak pernah aktif. Mungkin dia bukan tipikal orang yang sudah kecanduan HP dan keracunan Facebook.

Salah JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang