Part 13 : Perubahan Reyhan

21.4K 1.2K 26
                                    

Ucapan Bu Diva sore tadi terus terngiang-ngiang di dalam pikiranku. Aku tidak menyangka kalau Bu Santi bisa setega itu. Andai saja Bu Santi tidak melakukan itu mungkin sekarang aku tidak menikah dengan Reyhan. Mungkin sekarang aku akan dipertemukan dengan Azka dan Azka akan menikahiku dengan mahar surah ar-rahman. Manusia memang tidak bisa memilih, manusia hanya bisa menjalani takdir yang sudah digariskan. Tapi mungkinkah ada kata-kata salah jodoh di dunia ini? Bukannya segala sesuatu yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Sang Maha Pemberi kehidupan.

Jam dinding di dalam kamar sudah menunjukan pukul 23.35. Tapi Reyhan belum juga masuk ke dalam kamar. Biasanya dia sangat semangat tidur seranjang denganku, walaupun aku enggan untuk menyentuhnya. Mungkin, Reyhan ketiduran di sofa karena kelelahan. Karena penasaran aku memutuskan untuk menghampirianya.

Reyhan tidak ada di sofa, tapi pintu rumah terbuka. Aku dapat merasakan hembusan angin malam yang dinginnya menyengat tulang.

Aku melangkah keluar dan mendapati Reyhan sedang duduk bersedekap di depan teras menatap bintang bertaburan di atas langit.

"Kamu nggak tidur?" tanyaku sembari duduk di sebelahnya.

Reyhan hanya menggeleng. Wajahnya terlihat murung persis seperti tadi sore.

"Udah malam, emang besok kamu nggak kerja?"

Reyhan terdiam. Aku semakin kasihan melihatnya. Bayangkan saja, bocah laki-laki yang seharusnya masih sekolah harus menikah dengan gurunya sendiri dan bertarung melawan dunia untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Aku ikut mengarahkan pandanganku ke atas. Menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit.

"Aku kangen sama ibuku," ucap Reyhan dengan suara serak.

Aku melirik ke arahnya. "Kapan terakhir kali kamu ketemu sama Ibu kamu?" tanyaku hati-hati takut membuat Reyhan sedih.

"Sejak saat ayah dan ibu cerai di kampung." Reyhan menunduk, mungkin kepalanya sudah pegal mendongak ke atas. Aku menatap Reyhan miris.

"Aku senang ayah pindah ke Jakarta, karena aku pikir di sini aku akan bertemu Ibuku." Reyhan tampak sedih. "Ternyata kota ini terlalu menyedihkan untuk ditinggali."

Aku termenung. Mungkin saja ayah Reyhan menjadi miskin karena sawahnya di jual untuk biaya berobat kakeknya dan sisanya untuk menyelamatkan umi yang sedang berjuang melahirkanku. Entah kenapa aku jadi merasa bersalah dengan Reyhan. Entah kenapa juga aku punya keinginan untuk membuatnya hidup bahagia.

"Dan, Pak Sakarni adalah salah satu orang yang membuatku menderita." Reyhan tiba-tiba mengepalkan tangannya.

Aku mengusap-usap pundaknya untuk menenangkan. "Udah nggak papa, semua sudah terjadi."

"Tapi, gara-gara dia kita jadi kayak gini, Bu?!" Reyhan meninggikan nada suaranya. Sesaat kemudian ia langsung menggigit bibirnya. "Maaf, Bu." Reyhan tampak sudah menyesal karena telah membentakku. Dia tertunduk lesu.

Aku yang sempat terperangah kembali mengusap-usap bahunya.  "Kalau kamu capek besok nggak usah kerja. Kalau kamu mau main games download aja aplikasinya di handpone aku."

Reyhan menoleh ke arahku dengan wajah murungnya. "Bu Salis adalah salah satu orang berhati mulia yang pernah aku temui di dunia ini. Jadi, aku tidak akan membiarkan Bu Salis menderita," ucapnya menggebu-gebu.

"Ssttt..." Aku meletakkan jari telunjukku di depan bibirnya. "Nggak kerja satu hati nggak akan bikin manusia miskin seumur hidup, kok. Seperti apa yang pernah aku omongin ke kamu. Aku akan menjadi sinarmu yang tidak akan pudar dimakan usia."

Reyhan meneguk ludahnya dengan susah payah. "Bu Salisah bakalan setia sama aku, meskipun selamanya kehidupan kita kayak gini?"

"Insyaallah." Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Kenapa, Bu?"

"Karena kamu ditakdirkan jadi jodoh aku." Walaupun sedikit ragu, aku tetap mengucapkan kalimat itu.

"Kenapa Bu Salisah hanya pasrah difitnah sama iblis kayak pak Sarkani dan Bu Santi?"

Aku menggeleng. "Sudahlah, Rey. Nggak usah bahas soal itu. Hatiku jadi sakit."

Reyhan menghela napas, kemudian mengalihkan pandangannya dariku.

"Tidur, yuk, dingin udah malam," ajakku.

"Bu Salisah duluan aja. Aku masih mau di sini." Reyhan tampak memejamkan mata saat angin malam datang menerpa kami berdua.

"Dingin di luar. Nggak papa, sih, kalau besok kamu nggak kerja."

"Aku nggak tau besok mau kerja apa enggak." Reyhan mengusap-usap wajahnya lelah.

"Nggak usah juga nggak papa, kok. Aku ada uang tabungan juga yang sering kamu berikan, ditambah uang gaji les private Sifa yang lumayan. Ayo tidur?"

Reyhan tetap menggeleng. "Bu Salis kalau ngantuk tidur aja."

"Reyhan!"

Dia menghela napas. Kemudian berdiri dan meningagalkanku di teras rumah. Aku buru-buru menyusulnya setelah munutup pintu.

Reyhan membiarkanku berbaring lebih dahulu, kemudian dia menyusul dengan berbaring membelakangiku. Aku kasihan karena dia tampak begitu murung. Aku berniat ingin menghiburnya. "Reyhan."

"Hmm." Dia hanya berdehem.

"Peluk aku, dong, aku takut."

Reyhan terdiam.

"Rey?" Sepertinya usahaku gagal. Alkhirya aku memeluknya dari belakang. Aku bisa merasakan nafasnya yang berhembus teratur.

"Kenapa Bu Salisah begitu peduli sama aku?"

"Kenapa juga kamu peduli sama aku?" Aku menghembuskan napas panjang sambil mengendus-enduskan hidungku ke leher belakang Reyhan.

"Kepedulian kitamuncul dari rasa kasihan, bukan rasa kasih sayang."

***

"Wah, Nabil dan Anna udah balik ke pondok pesantren, Umi?" tanyaku saat menelpon umi sambil mengepel lantai. Beginilah kegiatanku setiap hari, sama seperti IRT kebanyakan, terlalu monoton. Kadang kalau bosan aku akan berkunjung ke rumah umi.

"Owh, yaudah kalau Umi mau ke pasar. Aku mematikan panggilan kemudian melahap habis debu-debu di lantai dengan alat pelku.

Aku kembali memikirkan soal Reyhan. Tadi pagi dia berangkat kerja lebih siang dari sebelumnya. Pakaian yang ia kenakan juga sedikit rapi, bukan baju lusuh andalannya yang sering ia pakai untuk bekerja. Semenjak mendengar cerita dari Bu Diva Reyhan berubah menjadi murung, seperti banyak dendam yang tersirat di matanya.

Setelah selesai mengepel aku langsung meluncur ke kamar mandi mencuci piring. Tak lama kemudian ponsel yang aku taruh di atas
meja tadi berdering. Aku buru-buru mengambilnya. Setelah kulihat, ada panggilan dari nomor tidak dikenal.

Dengan ragu aku mengangkatnya. "Halo?"

"Ini Salisah?" tanya seseorang di seseorang sana.

"Iya, ini siapa?" tanyaku penasaran.

"Ini aku Bu Diva. Gawat Salisah, Reyhan datang ke sekolahan,
" ucap Bu Diva terdengar panik.

"APA?" teriakku.

"Dia ngamuk-ngamuk pengen ketemu Pak Sarkani." Aku mematung, pandanganku berubah kosong. Aku harus segera menyusul Reyhan ke sana. Aku mematikan panggilan secara sepihak lalu berganti baju yang menutupi aurat. Dengan tergesa-gesa aku memberhentikan taksi yang lewat.

"Ke SMA Atlas, Pak," ucapku kepada pak Sopir. Aku begitu cemas. Rasanya ingin cepat-cepat sampai ke sana. Gamis yang aku gunakan sampai lusuh karena aku remas-remas.

"Duh, Reyhan kamu kenapa?"

Bersambung...

Yakin nggak mau nabung buat beli novelnya?

Salah JodohWhere stories live. Discover now