Truth.

1.1K 144 23
                                    

Normal POV

"Oi, Lis!"

Sebuah panggilan membuat gadis dengan rambut pirang itu menoleh ke balik punggungnya, mendapati seorang pria berlari kecil berniat menghampirinya yang dikenal dengan julukan "bunny"-nya.

Lisa tetap berjalan sembari kembali fokus dengan pesan singkat di ponselnya dengan jari bergerak lincah membalas balon demi balon yang tak henti muncul.

Sesekali tawa kecil keluar dari bibirnya ketika membaca tulisan konyol yang dikirim dari lawan obrolannya.

"Heh, ngapain sih? Fokus banget sampai dipanggil kaga berhenti," keluh sebelahnya. Tampak sosok yang memanggilnya tadi kini sudah berhasil mengejarnya.

Jungkook, namanya. Anak emasnya FH yang digadang-gadang jadi mahasiswa nomor tiga yang disegani oleh kampus setelah Mingyu dan Jaehyun, tentunya.

Bukan hanya otaknya yang brilian dan public speaking yang sangat bagus, tapi juga prestasi di luar kampus yang juga tak kalah membanggakan.

Dan gadis di sebelahnya, Lisa.

Lisa, putri tunggal dari keluarga tajir keturunan Thailand yang tak kalah brilian dari Jungkook. Kalau bisa dibilang, paket komplit luar dalam. Jiwa sosialnya yang tinggi, juga latar belakangnya mendukung gadis itu terpilih sebagai salah satu anggota BEM.

"Dih malah nyengir, kesambet ya lu?"

Lisa mendecak sambil menoyor kepala mahal Jungkook, tak terima dengan perkataannya.

"Lu ngomong suka ngga disaring dulu ya,"

"Lagian nyengar nyengir kayak orang bego, eh, emang bego deh,"

Lagi, toyoran sampai di kepalanya.

"Hih, jangan noyor mulu napa. Ini kepala bukan kelapa,"

"Kopyor, geblek. Heran gue anak kayak lu jadi anak emas Pak Dekan,"

Jungkook tertawa puas, mengabaikan Lisa yang menatapnya penuh emosi. Memang begini kegiatan keduanya kalau sudah bertemu.

"Bahagia mulu lu sama mas pacar," sindirnya setelah tawanya mereda.

"Yaiyalah, kayak ngga tau aja pacaran sama dia kayak pacaran sama badut. Ngelawak mulu,"

Obrolan tentang kekasih hati memancing kekehan kecil dari Lisa.

"Dih, bucin,"

"Ngaca lu,"

"Eh, gimana lo sama Eunha?" tanya Lisa ketika mereka sudah sampai di kelas. Volume suaranya mengecil karena tahu kelasnya ini bisa berubah jadi dinding yang berbicara kalau sudah masalah "teh".

Jungkook duduk dengan helaan nafas, "Entahlah, bingung gue. Kok kayaknya makin runyem ya,"

"Ya, kalo lo ngehindar terus pasti makin runyem lah. Masalah itu dihadapin, bukan dikoleksi," ujar gadis itu sambil membuka bukunya.

Jari sang pria mengacak rambut hitamnya, seakan ingin menghilangkan rasa frustasi yang menghinggapi kepalanya walau tak berpengaruh juga.

"Hadeh, ribet. Ngga usah dibahas dulu deh, bisa tua mendadak gue,"

Baru saja ia menyelesaikan ucapannya, ponselnya berbunyi menandakan pesan masuk. Ia mengernyit sebelum mendecak pelan dan menghela nafas berat.

Oh, tampaknya hari ini bukan hari baik untuknya.

Bocil
Besok kerumah ya?
Aku mau ngomong.
Please.

. . .

Setelah mengirim pesan tersebut, Eunha menatap sahabatnya sebelum menghela nafas.

La Memóire x 1997 line.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang