11. - Hantu Tanpa Busana

1.2K 135 14
                                    

Beberapa tahun kemudian...

SAAT hari raya tiba, Tita sekeluarga pulang ke kampung halaman yang ada dikabupaten kotanya. Dirumah orang tua Tita, keramaian selalu terjadi setiap tahunnya. Terlebih keluarga besar Tita terbilang kompak dan kedua anaknya sangat menyukai lebaran di rumah neneknya. Hampir empat puluh orang yang mengisi rumah panggung khas perdesaan tersebut, dominan anak kecil dan remaja.

Orang tua sibuk memasak dan mengawasi anak-anak dan keponakannya satu sama lain. Rumah itu selalu diwarna dengan suara tawa anak kecil yang berlarian, suara teriak-teriak dan suara tangisan anak kecil yang tiap tahun mereka rindukan. Anak-anak sering kali saling menganggu satu sama lain. Sampai-sampai para ibu dibuat pusing bukan main.

Bahkan ada yang menjahili dengan cara mencoret wajah sepupunya dengan lipstick atau spidol dan mereka saling menyembunyikan mainan satu sama lain. Hari pertama dan kedua, semua berjalan baik-baik saja. Tapi saat hari ketiga datang, mulai terjadi keanehan di rumah orang tua Tita.

Keponakan Tita yang paling kecil jatuh dari tangga saat ia ingin naik ke lantai dua. Model tangga rumah panggung rata-rata terbuat dari kayu, entah keponakannya salah menginjak pijakan atau kakinya terpleset.

Riana, ipar Tita bertanya dengan tegas kepada anak bungsunya. "Kenapa kamu bisa jatuh sampai berdarah begini, nak?" Riana mengobati lutut putranya.

"Ada yang mendorong ku," jawab Raifan meringis kesakitan.

Maya dan Yunita, kedua kakak Tita langsung menginterogasi anak-anak dan keponakannya. Saat ditanya satu-persatu, tak ada satu orang pun yang mau mengaku. Bahkan mereka saling menyalahkan satu sama lain.

"Mulai malam ini, tidak ada yang saling menjahili satu sama lain!" Yunita mempertegaskan pernyataannya dengan suara galak.

Suasana yang tadinya ceria tiba-tiba berubah menjadi senyap. Anak-anak dan para remaja saling bertatapan satu sama lain, seperti bertanya siapa yang mendorong sepupu mereka yang paling kecil. Mereka pun tak mengetahui siapa pelaku sebenarnya dan merasa tidak ada yang mendorong Raifan.

"Apa lagi yang kalian tunggu? Ini sudah tengah malam, tidur!" Yunita memijat pelipisnya kuat-kuat. Di antara Maya dan Tita, Yunita yang memang paling tegas dan galak.

Anak kecil, remaja dan sebagian orang tua langsung naik ke lantai dua untuk tidur. Lantai dua serba kayu, jadi suara langkah kaki yang berada di atas selalu tajam dipendengaran siapa saja.

Lolongan anjing terus terdengar sepanjang tengah malam, anak-anak sampai ketakutan bukan main. Bahkan Tamara, anak bungsu Tita yang kini sudah duduk dibangku sekolah menegah pertama merasa takut saat mendengarnya. Padahal, hampir tiap tahun mereka mendengar lolongan anjing, tapi masih saja membuat bulu kuduk yang mendengarnya berdiri.

Keesokan harinya, keluarga besar Tita berkumpul untuk bercerita seraya menyantap cemilan dan teh hangat sebagai pelengkap sore hari mereka.

"Semalam, aku mendengar suara langkah kaki yang mondar-mandir saat tidur di atas. Bukan kah semua orang sudah tidur semalam?" tanya Arjuna serius, anak Maya yang paling tua.

"Aku juga mendengarnya, ku pikir aku salah dengar." timpal Akbar, anak kedua Riana seraya mencomot kue.

Kali ini para remaja yang bersuara. Tita yang mendengarnya tidak langsung percaya begitu saja, palingan bualan semata agar tidak kena semprot lagi seperti kemarin malam.

"Kalian ini lagi ngarang bebas, ya?" celutuk Tita kepada kedua keponakannya.

Arjuna dan Akbar menggelengkan kepalanya bersamaan. "Untuk apa kita berbohong? Suara itu sangat jelas!" sahut Akbar yakin.

GivenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang