14. - Tumbal

1.5K 119 48
                                    

MALAM itu Tita ditelepon oleh kerabatnya untuk mampir ke kafe miliknya, kebetulan properti dan tempat kafe tersebut adalah milik Tita. Sedangkan kafenya dikelola oleh kerabatnya. Tentu saja dengan senang hati Tita mendatangi kafenya sendiri.

Di pekarangan depan kafe, ada penjual makanan yang menyewa halaman depan, brand makanannya cukup terkenal di Kota tempat tinggal Tita. Saat tiba, Tita disambut dengan suka cita, canda tawa mereka tak surut sedikitpun. Makin malam, keadaan kafe makin ramai, tak segan-segan Tita membantu kerabatnya yang tengah kewalah membuat pesanan para pelanggan. Tita membantu membuat jus seraya menggoreng kentang goreng, kerabatnya sesekali melirik cara kerja Tita, antisipasi jika ada kesalahan yang Tita buat.

"Kamu cukup cekatan juga, Ta!" puji Randa, kerabatnya.

Tita menyimpul senyum. "Ah tidak juga, Ran!"

Beberapa waktu berjalan dengan mulus, tapi saat Randa memperhatikan Tita lebih lekat, ternyata ada yang aneh. Terkadang Tita tersenyum sendiri, berbicara sendiri, dan mengomel sendiri. Randa kebingungan melihat tingkah Tita, apa yang salah darinya?

Randa ingin bertanya, namun ia sedang kerepotan. Selama berjam-jam kafenya terus menerima pesanan. Tak ada waktu, mungkin lebih baik Randa menanyakannya nanti. Saat jarum pendek bertengger di angka sebelas, tepatnya malam, mereka berdua baru bernapas lega. Keadaan kafe sudah lumayan sepi.

"Lumayan lelah juga, Ran. Pegawai kamu kemana? Bukannya ada dua orang?" tanya Tita.

"Mereka izin, Ta. Kamu tahu sendiri ini malam minggu, kedua pegawai itu kan berpacaran. Sudah pasti mereka sedang bermalam minggu."

"Kamu pecat saja mereka, harusnya mereka bisa profesional. Jangan melibatkan perasaan di dunia pekerjaan. Lebih baik cari penggantinya, sekedar saranku saja. Kamu juga tidak mungkin bisa melayanin pelangganmu seorang diri seperti tadi, untung saja aku membantumu di sini." Tita mengomel panjang lebar, sedangkan Randa hanya tersenyum mengerti.

Semua pelanggan sudah pulang, waktunya membereskan meja kafe. Mengambil gelas dan piring, tiba-tiba mereka terkejut mendengar suara teriakan dari pekarangan kafe. Bayu, penjual makanan brand terkenal itu masuk ke dalam kafe dengan tergopoh-gopoh sambil menggendong keponakan perempuannya. Dibelakangnya ada tiga orang laki-laki yang tampaknya teman Bayu dan istri Bayu juga ikut masuk ke dalam kafe.

"Tolong keponakan saya, mbak!" lirih Bayu dengan air muka yang begitu panik.

"Ada apa dengannya?" tanya Tita sigap.

"Dia pingsan secara tiba-tiba, mbak. Tolong saya!" Bayu terus memohon.

Tita segera menyatukan meja-meja menjadi satu. Randa kebingungan harus berbuat apa.

"Baringkan tubuhnya terlebih dahulu di sini, aku akan berusaha menolongmu." titah Tita menunjuk meja yang ia satukan.

Bayu membaringkan tubuh keponakannya di atas meja yang disatukan oleh Tita tadi. Lalu, Tita meminta tolong kepada Randa agar menutup kafenya sementara waktu, sebab tidak enak jika menerima pelanggan dalam keadaan seperti ini. Juga ia meminta Randa memberikannya minyak aroma terapi.

Dengan sigap Randa mengiyakan. Beberapa menit berlalu, Randa kembali dengan minyak aroma terapi ditangannya. Setelah menerimanya, Tita mengucapkan terima kasih dan mulai mencoba membangunkan keponakan Bayu yang masih pingsan. Ia menggosokkan minyak tersebut ke seluruh badan keponakan Bayu, juga hidungnya. Tapi, sayangnya tak ada pergerakan. Perempuan yang berkisaran sembilan belas tahun ini masih saja terkapar pingsan di atas meja.

Tita melihat kepanikan dari raut wajah Bayu, ia menjadi tak tega. Tak langsung putus asa, Tita kembali mengoleskan minyak ke hidung perempuan tersebut. Tak lama ia siuman dari pingsannya, namun hal aneh terjadi. Mata keponakan Bayu melotot seraya menatap ke arah kanan dan kiri. Ada yang tidak beres.

GivenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang