17. - Dunia Hanyalah Duka

1K 100 17
                                    

"Dunia itu menyeramkan.
Kau lemah? Dia menginjak."

- Adilta Putri. -

🌼🌼🌼


"Setelah ulang tahunmu, ayahmu akan mati."

Tita menjerit ketakutan, ia menutup kedua telinganya sambil menggelengkan kepalanya tak terima. Ia menangis di atas tempat tidurnya. Sempat merutuki bisikan mengerikan yang terus saja menganggunya, Kenapa harus orang tuanya? Kenapa harus bisikan kematian dan bisikan mengerikan yang ia dengarkan? Kenapa bukan sebuah kebahagian masa depan yang akan ia ketahui? Dan, kenapa harus dirinya? Terlalu banyak pertanyaan kenapa tanpa jawaban karena.

Tita ketakutan. Takut mengetahui fakta bahwa bisikan itu bisa saja nyata. Pasalnya, sudah sebulan lamanya ayah Tita di rawat di rumah sakit. Dengan tangan gemetar ia meraih ponselnya untuk menelepon Tora, kakaknya yang tinggal di kampung halaman. Ayah Tita dirawat di rumah sakit sana. Itu sebabnya, Tita tidak bisa berkunjung setiap hari karena jarak yang cukup jauh. Tita mencari kontak Tora, ia akan menanyakan kabar terkini ayahnya.

Saat sambungan tersambung, isakan tangis Tita yang pertama kali Tora dengarkan.

"Ta? Kenapa menangis?" tanya suara berat di seberang sana.

"Kabar bapak baik-baik saja?" tanyanya dengan suara yang gemetar.

"Alhamdullilah baik-baik saja, Ta. Bapak mencari kamu, kapan ke sini lagi?"

"Insya Allah minggu depan, kak."

Walaupun mendengar kabar yang baik, tapi tetap saja ia masih gelisah. Tita pun menceritakan hal yang ia alami barusan kepada Tora. Kakaknya yang mendengar hanya bisa tertawa kecil dan menghibur adik bungsunya.

"Pasti itu hanya mimpi, jangan dipercaya bisikan seperti itu. Jangan memikirkan hal yang aneh-aneh, Ta. Berdoa saja, semoga bapak panjang umur dan sehat selalu. Pokoknya minggu depan kamu ke sini, ya?"

"Iya, kak."

"Keluarga kamu kabarnya bagaimana?"

"Alhamdullilah, anak-anak aku sudah sibuk dengan dunia mereka dan Brian juga sibuk urus usahanya walaupun kadang aku juga membantu."

Setelah berbincang sebentar, mereka sepekat memutuskan sambungan telepon. Karena sudah merasa lega, Tita melanjutkan tidurnya. Singkat cerita, saat ke esokan harinya ia terbangun. Ulah dering telepon yang terus berbunyi. Ia pikir itu ponsel Brian, tapi ternyata Brian tidak pulang semalam. Mungkin ada hal yang harus dikerjakan. Tita yang mulai sadar dari tidurnya langsung meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas.

"Halo, ini siapa?" tanya Tita yang asal mengangkat telepon tanpa melihat nama pemanggilnya.

"Ta, ini aku Sari. Kamu masih tidur, ya? Apa aku mengganggu kamu?" tanya Sari dengan suara lirih.

Tita merubah posisinya menjadi duduk, "Nggak. Sudah terbangun. Ada apa menelpon sepagi ini, Sar?"

"Aku ingin meminta tolong, sepupu aku meninggal. Adiknya Nana. Hari ini mayatnya baru tiba dari Lampung."

"Innalillahi wainnailahi rojiun. Mau aku bantu apa, Sar?"

"Aku jemput kamu ya, minta tolong bantu-bantu untuk pemakamnya. Keluarga besarku hanya sedikit di sini."

Tita hanya mengiyakan dan langsung bergeges beranjak dari atas tempat tidurnya untuk mandi. Sebelumnya, ia sempat membantu Fajar dan Tamara bersiap ke sekolah. Tita tidak begitu kerepotan sebab anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan sudah bisa menyiapkan keperluan sendiri. Beberapa jam kemudian Sari datang. Di dalam perjalanan menuju rumah duka, Sari banyak menceritakan tentang Almarhumah sepupunya. Katanya ia seorang diri tinggal di Lampung selama beberapa tahun terakhir karena ditugaskan kerja di sana oleh kantornya.

GivenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang