06. The Sixth Day Before I Left

11.9K 1.9K 235
                                    

"Selamat pagi, Anak Mama ..."

Jihye merekahkan senyum saat sang mama menyapa. Tungkai jenjangnya melangkah menuruni setiap anak tangga sebelum menginjak lantai ruang makan.

"Selamat pagi, Mama!" Jihye balik menyapa, kemudian mengecup pipi sang mama dan duduk di sebelah mamanya.

Menyantap sarapan dengan tenang, Jihye mendadak dibuat tersedak manakala ayah berkata, "Kita akan pindah delapan hari lagi. Jiya, persiapkan barang-barang yang mau Jiya bawa. Jangan sampai ada yang tertinggal."

"Apakah tidak ada waktu lain, Yah?"

Ayah melepas kacamata yang melekat. "Sayang ... kita sudah bicarakan ini sebelumnya," tegur sang mama membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya. “Habiskan sarapannya. Hari ini Mama yang akan mengantarmu ke sekolah."

"Baiklah," jawab Jihye lesu.

Sejujurnya, jika disuruh untuk memilih, Jihye akan memilih untuk tetap tinggal daripada harus mengikuti sang ayah. Namun, itupun kalau sang ayah mau memberinya uang bulanan—atau setidaknya Jihye memiliki penghasilan sendiri. Sayangnya, sang ayah dan mama pasti tidak akan setuju dengan pilihan anaknya.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Jihye lekas meninggalkan ruang makan dengan perasaan kesal.

Meninggalkan kota dan negara kelahirannya bukanlah suatu perkara yang mudah, ditambah Jihye yang memiliki sifat cenderung pendiam dan tidak pandai bergaul. Gadis itu bahkan takut apabila ia tidak menemukan pengganti Kara dan Sora di negara yang akan ia tinggali delapan hari lagi.

"Ayolah, Sayang ... ini bukan waktunya untuk menekuk wajahmu. Seharusnya kau tersenyum. Ayo, kemari. Masuk ke mobil!" Mama menyalakan mesin mobil, sementara Jihye mulai masuk ke dalam kendaraan roda empat tersebut sebelum memasang sabuk pengaman.

Di dalam perjalanan menuju sekolahnya, Jihye hanya terdiam sambil sesekali melirik pada kaca jendelanya. Memangnya siapa yang menyukai perpisahan? Semua orang tidak menyukai itu. Termasuk Park Jihye.

Air matanya mendadak menetes manakala mengingat waktunya hanya tersisa delapan hari untuk berkumpul bersama kedua sahabatnya.

Jungkook? Persetan dengan laki-laki itu. Yang ada di kepala Jihye saat ini hanya ada Sora dan Kara—walaupun sebagian kecil tetap diisi oleh pemuda Jeon tersebut.

Mobil sedannya berhenti tepat di depan pagar sekolah. Sebelum benar-benar keluar, Jihye mengecup pipi sang mama seperti kesehariannya.

"Jangan melamun saat pelajaran!" ucap sang mama mengingatkan. "Sore ini pulang dengan Jungkook, ya? Kita ajak dia makan malam bersama."

Jihye melongo untuk sesaat. Pasalnya, sang mama dan papa belun mengetahui bahwa hubungannya dan Jungkook sudah berakhir sejak beberapa hari yang lalu. Namun, Jihye terpaksa mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Oh, iya ... Mama memasukkan dua kotak makan di dalam tas ranselmu. Semuanya berisi daging panggang. Yang kotak berwarna abu itu untuk Jungkook." Jihye mendesah berat seraya berusaha melepas sabuk pengamannya. "Semangat, Sayang!" Pekikan mama menjadi suara terakhir dari perbincangan mereka di dalam mobil.

Jihye melangkah kecil memasuki area sekolah. Kedua tangannya meremas tali bahu pada tas ransel dengan mulut bersenandung kecil. Lalu saat ia hendak menuju koridor, lengannya mendadak dicekal oleh tangan seseorang dan membuatnya terpaksa menghentikan langkah.

"Mama menyuruhku untuk mengantarmu pulang—juga mengajakku makan malam bersama di rumah."

Jihye menghela napas berat. "Sudah tahu, 'kan? Lalu kenapa masih mengatakannya padaku?" jawabnya dingin.

Knowing Me, Knowing You ✓Where stories live. Discover now