15. The Day I Left

9.4K 1.5K 127
                                    

"Yah, kenapa waktunya harus diperpanjang?"

Ayah yang sedang sibuk memasukkan seluruh koper ke dalam bagasi mobil kini terpaksa menoleh manakala mendengar suara anak semata wayangnya yang sedang berdiri di lantai teras sembari menatap ayahnya. "Maksudmu?"

"Ayah bilang kita di Amerika hanya dua tahun. Tapi kenapa menjadi empat tahun? Ayah sengaja berbohong pada Jiya agar Jiya mau ikut dengan Ayah, ya?"

Ayah melempar senyum tipis. "Bukan Ayah, tapi mamamu." Jihye menautkan kedua alisnya sembari memberi tatapan tak paham. "Mamamu ingin kau sekolah di sana," lanjut ayah membuat Jihye memerosotkan rahangnya tidak percaya.

"Kenapa mama melakukan itu?" tanya gadis Park itu masih belum puas.

Sang ayah mengedikkan bahu. "Mana Ayah tahu," jawab ayah singkat kemudian memutus tatapan dan kembali sibuk dengan kegiatannya.

Karena mendapat respons tak memuaskan dari sang ayah, Jihye lekas melangkah memasuki rumah untuk menemui sang mama yang sedang sibuk membereskan rumah yang akan mereka tinggalkan selama empat tahun ke depan.

Sejenak matanya berpendar untuk melihat ruangan demi ruangan. Kemudian napasnya berembus lirih manakala sadar bahwa ia akan meninggalkan kediamannya sebentar lagi.

"Jiya ..." Suara panggilan dari sang mama membuatnya segera mencari keberadaan sang mama yang ternyata ada di area dapur.

Gadis itu melangkah menghampiri mama dan mendapati mamanya tengah berjongkok untuk memasukkan piring-piring ke dalam konter dapur.

"Ada apa, Ma?" tanyanya.

Mama mendongak. "Sudah menelepon Jungkook? Yakin siap berpisah dengan Jungkook?"

Jihye refleks mengulas senyum pahit. Kepalanya terangkat saat mama bangkit dari posisinya berjongkok. "Ma ... apa benar yang ayah katakan kalau Mama ingin Jiya melanjutkan sekolah Jiya di Amerika sehingga kita harus tinggal di sana selama empat tahun?"

Mama mengulum bibir sesaat. Ditatapnya wajah kecewa sang anak sebelum mama mengusap bahu Jihye yang berbalut jaket pemberian Jungkook.

"Demi kebaikanmu, Sayang," jawab mama lembut. "Mama ingin kau sekolah di sana."

Menggigit bibir bawahnya, Jihye kemudian melempar tanya, "Kenapa Mama tidak bertanya atau menyuruh Jiya untuk mempertimbangkan keputusan Mama lebih dulu? Jiya tidak mau meninggalkan rumah ini terlalu lama, Ma ... apa menurut Mama pendikikan jauh lebih penting daripada kondisi anak Mama sendiri? Kalau iya, Jiya tidak mau ikut ke Amerika."

"Jiya ..." Itu jelas bukan suara sang mama. Jihye sontak menoleh dan menemukan presensi Jungkook yang sedang berdiri di ambang pintu utama. Kedua tangan pemuda Jeon itu diselipkan di saku hoodie sebelum menghampiri Jihye dan mama di area dapur. "Selamat pagi, Ma."

Jungkook membungkuk sopan dan melempar senyum. Lantas pemuda itu menilik ke arah Jihye yang tengah memasang air muka kesal. "Jiya, mau ke halaman belakang? Aku ingin membicarakan sesuatu."

Jihye mendongak dan segera mengangguk sebelum mengekori Jungkook yang memimpin langkah menuju halaman belakang. Mereka duduk di salah satu bangku; berjejeran hanya dengan radius kecil.

"Ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Jungkook. Jihye menggeleng. Matanya menatap rumput yang tumbuh memenuhi tanah di halaman belakang rumahnya. "Sebelum kita berpisah ... seharusnya kau menceritakan apa yang membuatmu kesal."

"Oppa ..." Jihye memeluk Jungkook secara mendadak, membuat pemuda itu tersentak—tapi segera membalas pelukan tersebut dan menepuk punggung bergetar Jihye. "Aku akan pergi selama empat tahun. Mama sudah berbohong padaku. Mama bilang perusahaan ayah menambahkan waktu dua tahun untuk tinggal dan bekerja di Amerika. Tapi ternyata itu hanya alasan mama agar aku bisa sekolah lebih lama di sana."

Knowing Me, Knowing You ✓Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα