11. Spilled Ink

3.8K 746 139
                                    


       Setelah tiga hari meringkuk di atas ranjangnya, dan saat Renjun rasanya benar-benar akan menyewa seorang suster yang penyabar saja untuk mengurus Lucas, pemuda itu akhirnya pulih.

Entah, bagaimana bisa. Tapi setelah Renjun mengancam Lucas bahwa ia akan menyewakan seseorang untuk merawat Lucas, tiba-tiba saja, sore itu Lucas tidak lagi sakit. Ia sehat 100%.

Benar-benar tidak bisa ditebak.

Pada pagi hari keempat, Lucas merasa telah siap untuk berangkat bekerja. Pemuda itu bahkan bangun lebih pagi daripada Renjun, lantas menerobos masuk kamar sang sekretaris dan membangunkannya.

Dan Renjun bersumpah apabila Lucas tidak memasang wajah memelas begitu, ia sudah menampar kedua pipi Lucas.

“Apa kau tahu ini pukul berapa, Wong Yukhei?!” Pekiknya dengan parau.

Lucas mengerut mendengar suara Renjun. Ia merasa begitu kecil sekarang, seolah Renjun dapat meremasnya hingga hancur.

“I-ini sudah pagi ...?” Lucas menjawab takut-takut.

Renjun melirik jam dindingnya dengan nanar. Matanya merah akibat terbangun secara paksa.

“Ini pukul dua malam, idiot!” Balas Renjun dengan keras. Apabila apartemen—mansion—Lucas merupakan sebuah bangunan yang murahan, mungkin suara bentakan Renjun terdengar hingga tiga rumah.

Lucas menatap Renjun sendu. “M-maaf,” cicitnya pelan.

Renjun menghela nafas panjang. Ia lalu beranjak dari ranjangnya dan memutuskan untuk tidak lagi membentak Lucas. Lebih baik ia ikuti saja kemauan pemuda jangkung ini.

Bukannya Renjun merasa terenyuh dengan wajah Lucas, ya. Bukan.

Pemuda itu membangunkannya pada pukul dua malam, hanya untuk meminta segelas susu cokelat hangat. Apakah mungkin apabila Renjun tidak tersulut amarah?

Renjun ingin berusaha bersabar saja. Ya. Hanya itu.

Lagipula, Lucas tidak tahu kalau ini masih pukul dua malam. Ia terlalu jenius untuk sekedar memeriksa waktu dahulu di ponsel genggamnya.

Maka, dengan berat, Renjun bangkit dari tempat tidurnya yang sangat nyaman dan berjalan dengan gontai ke dapur.

Jemari kurusnya membuka lemari peralatan dapur dan segera mengambil sebuah mug berukuran sedang berwarna hijau.

Dengan tiga, hingga empat sendok bubuk susu cokelat, air yang telah menghangat dari dispenser, Renjun pun berhasil membuat susu cokelat itu dengan matanya setengah menutup.

Sepanjang membuat itu, ia bahkan tak memikirkan di mana posisi Lucas, atau sedang apa pemuda jangkung itu, kenapa tidak menimbulkan suara berisik sama sekali.

Tetapi, matanya mau tak mau terbuka lebar saat sepasang tangan yang sangat ia kenali melingkari pinggangnya. Dan detik itu juga, pertanyaan yang bahkan tak Renjun tanyakan pun terjawab.

Itu Lucas, ia tahu.

Pemuda itu mendekat pada Renjun, lalu menopang dagunya pada bahu sempit sang pemuda Huang. Bibirnya yang berada tepat di depan telinga Renjun, membisik dengan suara yang mengantuk.

“Maaf sudah merepotkanmu,” bisiknya. “Aku tidak nyaman tidur sendirian. Setelah ini, kita tidur bersama, ya?”

***

         Akhir-akhir ini, sebuah fakta terhampar di depan hidung Renjun. Mulanya, pemuda itu mencoba mengabaikannya. Ia pikir, tidak mungkin dugaannnya benar.

Not Your Typical CEO [Lucas x Renjun]Where stories live. Discover now