Part 19 : Lyo's Point Of View

4.1K 367 41
                                    

Sebenarnya saat itu aku hanya berpura-pura pingsan. Aku hanya ingin kembali mendapatkan perhatian Nuca yang sudah beberapa hari ini tidak tertuju padaku.

Nuca mengusap wajahku. Perlahan aku membuka mataku lalu menggenggam jemarinya.

"Kamu gapapa, Ly?" Tanyanya yang terlihat begitu khawatir.

Aku mengangguk lemah.
"Gapapa, Nuc. Cuma pusing aja."

Entah mengapa, ia terlihat begitu gelisah dan terus menatap ke luar UKS.

"Aku harus ke kelas, Ly," ucapnya.

Namun aku mengeratkan genggamanku.

"Kenapa?"

"Tiara lagi nungguin aku, dia udah beli makan siang dan aku ninggalin dia pas tau kamu pingsan."

Aku tersenyum masam.

Hampir 3 tahun, aku menahan rasa ini. Selalu mencoba tersenyum saat ia selalu memikirkan Tiara kapanpun dimanapun.

Aku memiliki raganya, tapi entah kenapa, aku tidak pernah memiliki hatinya.

Aku mencintainya, sangat mencintainya, sampai rasanya aku sudah seperti orang tolol yang masih tetap mencintai walaupun aku tau ini hanyalah perasaan sepihak.

Bertahun-tahun aku terus memungkiri perasaan bahwa ia tidak pernah mencintaiku tulus.

Aku masih menyimpan harap meski sebenarnya diriku tak begitu dianggap.

Aku percaya suatu saat nanti ia akan mencintaiku, aku percaya suatu saat nanti ia akan membalas rasaku, aku percaya suatu saat nanti ia juga akan menggenggam tanganku erat, tapi yang ku dapat sampai detik ini, mata itu hanya tertuju pada Tiara.

"Saya ga akan beraktivitas berat untuk 2 bulan ke depan dok. Tapi tolong maksimalkan penyembuhan tulang saya, saya harus ikut seleksi lagi akhir tahun ini," ucap Nuca dengan nada penuh kepasrahan.

"Kamu tidak bisa memaksakan keadaan. Tulangmu ini walaupun nantinya akan sembuh kalau kamu pakai untuk jadi atlet basket berisiko akan kembali bergeser. Kamu tau sendiri tulang yang kuat itu adalah aset terpenting untuk seorang atlet."

Nuca hanya membisu sembari memperhatikan hasil Xray yang ada di tangannya.

"Kamu masih muda, masih ada waktu buat mikirin cita-cita. Tapi sebagai dokter, saya ingin yang terbaik untuk pasien saya. Lupain basket."

Perkataan terakhir dokter itu seakan menjadi mimpi buruk bagi Nuca. Hari itu, dia menangis.

Orang paling tangguh yang pernah ku kenal menangis di hadapanku.

Ia menggenggam kuat tangannya sendiri sembari menundukkan kepalanya. Aku pun mengusap kedua tangannya lalu memeluknya, membiarkannya menangis dalam pelukanku.

"Mimpi aku hancur Ra."

Aku tersenyum kecut saat mendengar ia memanggilku dengan nama itu. Ini bukan yang pertama kalinya dia memanggilku begitu. Sedih rasanya, bahkan saat aku sedang bersamanya melewati hari berat ini, ia hanya mengingat Tiara.

Aku berusaha menenggelamkan egoku. Ku pejamkan mataku lalu ku usir jauh-jauh rasa cemburuku.

"Hari ini sulit yah, Nuc? Tapi yang perlu kamu tau, sesakit apapun itu, semuanya akan berlalu," aku mengusap pundaknya.

"Jangan sampe Tiara tau. Aku ga mau dia nyalahin diri sendiri karena ini."

Aku tersenyum masam lalu mengangguk.

Unlove you Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang