2.8K 528 97
                                    

"Kudengar kau ambil cuti?"

Jeongin sedikit terperanjat, ia tidak tahu mengapa ia sedikit terbata. Rasanya canggung sekali mengingat malam itu ia meninggalkan Hyunjin di kafe seorang diri karena dirinya memang terlalu syok saat itu.

Jas berwarna putih yang masih melekat ditubuhnya sedari pagi tadi itu pun kini dilepaskannya. Disampirkan dan dijepit diantara kedua lengan, sementara tangan kanannya memegang botol minuman isotonik yang baru saja diberikan oleh Hyunjin.

"Ah, iya, aku ambil cuti 5 hari. Apa kalian datang?"

"Hm, aku mampir karena Jihoo mengajak untuk bertemu denganmu. Tapi ternyata Dokter Lee bilang kau sedang ambil cuti sakit. Apa sekarang sudah tidak apa-apa?"

Jeongin menggeleng seraya mengulas senyum tipisnya, "tidak apa-apa, aku hanya tidak enak badan"

Lalu hening, pandangan keduanya terpusat pada Jihoo yang asyik bermain dengan teman baru di halaman belakang rumah sakit bersama pasien anak lainnya.

Tanpa sadar mereka menghabiskan waktu cukup lama hanya untuk saling diam. Hyunjin tak tahu harus memulai pembicaraan apa lagi. Mengenai rasa penasarannya akan sosok dokter Kim, ia hanya berusaha untuk menahannya.

"Jeonginmu, orang yang bagaimana?"

ㅡadalah pertanyaan yang tak pernah Hyunjin duga sebelumnya. Pertanyaan itu pula yang makin menguatkan spekulasinya selama ini bahwa kedua Jeongin itu pasti ada hubungannya.

Mungkin karena ini dokter Kim langsung meninggalkannya tepat setelah perbincangan malam itu. Mungkin karena ini pula saat ia bersembunyi dibalik dinding kafe dan malah mendapati dokter Kim menangis di trotoar hingga larut malam.

Membuatnya selalu gelisah hingga tak bisa tidur nyenyak setiap malam akibat memikirkan keduanya. Beruntung, beruntung sekali ia memiliki Jihoo yang dapat ia jadikan alasan untuk pertemuan mereka. Walau sebenarnya Jihoo pun sama, selalu menanyakan sang dokter dan merengek untuk pergi kerumah sakit agar bisa bertemu.

Mungkin karena ini; karena Tuhan menyiapkan jalan lain untuknya.

"Jeonginku?" jedanya, "dia anak yang baik. Hatinya seputih kertas dan selembut kapas"

Tak ada yang menyadari bahwa suara Hyunjin akan selembut beludru ketika menceritakan tentang cinta pertamanya. Sudah menjadi kebiasaan, bagaimana cara Hyunjin memperlakukan Jeongin dulu selalu terbawa jika pria itu bercerita tentang cintanya.

"Aku tidak tahu pasti, tapi yang jelas kata ibuku Jeongin sudah tinggal cukup lama sebelum aku mengenalnya. Dia menggemaskan, senyumnya secerah matahari. Bahkan siapapun pasti tak akan pernah mengira bahwa dia sedang sakit parah"

"Awal hubungan kami yaitu karna kosakata baru yang diberikan temanku. Katanya hubungan sepasang kekasih akan diberikan ketika kami saling menyayangi satu sama lain. Padahal berpacaran atau tidak aku akan tetap menyayanginya"

Hyunjin menjeda ucapannya sejenak, tanpa melempar pandangan kearah dokter Kim yang menatap kosong dengan mata berkaca.

"Awalnya aku merasa bersalah karena telah mengencani seorang bocah, tapi jika dipikir-pikir kalau aku tetap menolaknya, pasti penyesalan itu akan terus menghantuiku hingga saat ini"

"Kau benar" sahut Jeongin, "dia pasti senang telah memilikimu. Terima kasih"

Hyunjin mengernyit, "terima kasih? Untuk?"

"Ah, tidak, h-hanya.." ucapan Jeongin terjeda beberapa detik, "jika saja aku Jeonginmu aku pasti akan sangat berterima kasih" ujarnya kikuk lalu berpura-pura sibuk menegak minuman isotoniknya.

[II] remind. ♡「hyunjeong」Where stories live. Discover now