15°

2.4K 469 89
                                    


// Lamunannya terbuyarkan oleh suara gebrakan di lantai bawah. Disusul tangisan kencang yang tak kunjung berhenti bahkan sejak ia terbangun tadi. Segera menghampiri putra kecilnya yang menangis kencang di ruang makan bersama bibi Jung yang tampak kewalahan.

"Aku tidak mau minum obat!"

Prak

Botol-botol plastik berisikan obat yang selalu diminum Jihoo itu dilemparnya hingga berceceran dilantai. Mengundang kemarahan Hyunjin yang segera datang namun masih berusaha menahan diri untuk tidak meninggikan suara.

"Jihoo ada apa denganmu? Jangan mulai lagi"

"Aku tidak mau minum obat, Jeongin hyung tak pernah menyuruhku minum obat itu jadi aku tidak akan minum!"

Pria yang kini sudah siap dengan balutan kemeja putihnya itu menghempaskan napas pelan, berlutut guna menatap wajah putranya yang memerah akibat banyak menangis.

Ini sudah 5 bulan berlalu sejak Jihoo maupun dirinya yang tak pernah berjumpa lagi dengan Jeongin. Dan sejak saat itu pula ia harus menghadapi putranya yang semakin bebal. Kerap kali menangis, kerap kali marah akan kesalahan kecil yang dilakukannya, dan kerap kali menolak untuk meminum obatnya.

Tak ada yang bisa dilakukan Hyunjin bila sudah seperti ini, sebuah pelukan sebagai obat penenang lah yang setidaknya bisa membuat Jihoo sedikit lebih tenang. Dari pada memarahi dan berujung melihat putranya kesakitan karena penyakitnya yang bisa saja kambuh secara tiba-tiba, Hyunjin memilih untuk mendekap putranya seraya memberi usapan halus dipunggung.

Lagi pula ini salahnya, ini salahnya karena telah membuat Jeongin pergi.

"Kenapa ayah tak pernah menghubungi Jeongin hyung? Jeongin hyung kemana? Kenapa Jeongin hyung tidak pernah kesini lagi? Jihoo kan tidak nakal ayah, kenapa Jeongin hyung pergi?"

Bocah itu melontarkan pertanyaan bertubi-tubi masih dengan sesegukan yang tak bisa ditahannya. Dilepaskannya pelukan dari sang ayah untuk menatap wajah yang lebih tua bermaksud meminta penjelasan yang tak kunjung diberikan.

"Jihoo tidak nakal sayang, Jihoo anak yang pintar"

"Lalu kenapa Jeongin hyung tak pernah datang? Hiks"

Hyunjin mengangkat tangannya untuk menghapus air mata putranya, kembali memberi sebuah pelukan hangat dan membiarkan sang buah hati menumpukan dagu diatas pundaknya "mungkin Jeongin hyung punya banyak urusan yang membuatnya tak bisa datang kemariㅡ"

"Maafkan ayah ya, ayah akan mengusahakannya untukmu"




*✧ ⃟ ⃟ ━━━ೋ๑୨۝୧๑ೋ━━━ ⃟ ⃟ ✧*




Hyunjin selalu membayangkan bagaimana kehidupannya dimasa depan jika saja kekasihnya masih hidup. Memiliki buah hati yang menggemaskan. Tinggal dalam rumah yang dekat dengan hamparan pantai yang luas. Jauh dari perkotaan, menikmati waktu bersama keluarga kecil yang ia idam-idamkan. Jeongin suka pantai, Jeongin suka hujan dan bermain air andai saja ia tak menderita sebuah penyakit yang selalu membatasi setiap geraknya.

Andai Jeonginnya bisa bertahan, andai Jeonginnya bisa sembuh. Pasti Hyunjin akan merasa seolah ia adalah orang yang paling beruntung didunia.

Namun semua hanyalah mimpi ketika dirinya menyadari bahwa Jeonginnya memang benar-benar tiada.

Kekasihnya telah pergi, jauh dari jangkauannya. Jauh dari pandangannya. Amat sangat jauh hingga Hyunjin tak yakin kapan mereka bisa bertemu lagi. Kapan ia bisa memeluk sosok mungil yang begitu ia rindukan. Kapan ia bisa melihat senyuman terindah yang tak lagi bisa ia dapatkan.

[II] remind. ♡「hyunjeong」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang