2.6K 473 118
                                    

//
.

"Feeling better?"

Setelah cukup lama berada dalam keheningan, Hyunjin akhirnya memberanikan diri untuk mencoba bertanya. Jeongin menegak air mineral yang Hyunjin beli di minimarket tadi lalu menyimpan botolnya kembali pada genggaman.

Mobil Hyunjin sudah berhenti didepan apartemen Jeongin sejak 30 menit yang lalu. Tapi pria itu menahan Jeongin agar tidak pergi sebelum pemuda itu benar-benar merasa lebih baik. Mungkin dengan menangis atau sedikit bercerita. Entah usahanya berhasil atau tidak, setidaknya Hyunjin hanya ingin mengawasi Jeongin yang mungkin masih dalam mode syoknya.

Jeongin belum menjawab, dan itu membuat Hyunjin sedikit cemas. "Menangis saja jika kau ingin, jangan takut membangunkan Jihoo, jika sudah tidur anak itu susah bangun"

Jeongin menoleh kebelakang, melihat bagaimana pulasnya Jihoo yang terlelap di jok penumpang belakang. Lalu melempar pandangannya pada Hyunjin dengan ragu-ragu. Tatapannya lembut meski tersirat kecemasan disana, tapi sepertinya pria itu masih akan menantinya hingga ia bisa meluapkan semuanya.

Apa yang dilihatnya beberapa menit yang lalu membuatnya bercelah. Bohong jika hatinya tidak hancur walau sudah terbiasa. Bohong jika ia mengaku memiliki hati sekuat baja mengingat semua omong kosong yang selalu didapatnya dari Bangchan.

Jeongin lelah. Ia lelah untuk berpura-pura bahwa semua sedang baik-baik saja.

Isakan pelan mulai terdengar, Jeongin menggigit bibir bawahnya dengan mata yang terpejam kuat. Kepalanya menunduk, menahan emosi, menahan segala rasa sakit untuk yang kesekian kalinya.

Mungkin sepuluh menit, atau lebih. Yang jelas Jeongin tak tahu sejak kapan telapak Hyunjin berada di pundaknya. Menepuknya dengan begitu telaten, memberi tatapan penuh sabar sembari memberi suara desisan layaknya sosok ibu yang sedang menenangkan bayinya yang sedang rewel.

Ini membuat Jeongin sedikit malu. Berusaha memberhentikan tangisannya walau sulit. Mengusap air mata diwajahnya dengan sedikit kasar. Menghirup udara banyak-banyak kemudian membuangnya.

"Aku sudah terbiasa dengan ini tapi kenapa rasanya masih sakit sekali?" Jeongin bergumam dengan suara sengaunya, tangannya mengepal dan menepuk dadanya pelan bermaksud agar ia bisa berhenti sesegukan.

Mendengarnya, Hyunjin terpekur untuk beberapa saat. Tapi tidak bertanya, Jeongin menatapnya sekilas kemudian tersenyum miris.

"Bodoh bukan? Aku sudah tahu Bangchan hyung punya orang lain tapi aku masih mempercayai setiap bualannya"

Hyunjin berpikir bahwa cinta terkadang membuat manusia menjadi bodoh. Mungkin Jeongin memiliki alasan lain untuk tetap bertahan. Tapi melihat sorot matanya, melihat bagaimana pemuda itu meredam emosinya, Hyunjin berpikir bahwa Jeongin mungkin sudah benar-benar lelah. Tapi ia menyembunyikannya

"Kenapa?" Hyunjin bertanya hati-hati, pertanyaan bodoh memang. Karena seharusnya ia tak mengganggu privasi keduanya. Tapi ia berpikir jika Jeongin sedikit lebih terbuka padanya lagi, mungkin ia bisa membantu. Entahlah

"Karena kami sudah bertunangan", Jeongin menjeda kalimatnya sejenak. Menatap cincin berwarna silver yang melingkar di jari manisnya lalu kembali tersenyum miris, "satu tahun yang lalu, aku memergokinya berkencan dengan gadis lain. Gadis yang sama dengan yang kita temui tadi"

"Rasanya lebih menyakitkan dari pada hari ini karna aku berpikir bahwa Chan hyung tak akan melakukan itu. Aku meminta berpisah, tapi Chan hyung menahanku. Dia mengatakan bahwa ia akan menikahiku, sesuai janji kami saat bertunangan. Kupikir dia sungguh-sungguh, aku percaya karena hubungan kami terus membaik sejak saat itu. Tapi ternyata itu hanya untuk menipuku, aku berpura-pura tidak mengetahuinya karena aku percaya bahwa Chan hyung pasti akan kembali padaku. Aku berpura-pura tidak mengetahuinya karena berpikir mungkin Chan hyung sedikit bosan dengan hubungan kami hingga memilih untuk bermuara ke lain hati sebentar. Tapi ternyata untuk menjadi bodoh itu cukup melelahkan, ya kan?"

[II] remind. ♡「hyunjeong」Kde žijí příběhy. Začni objevovat