2.8K 543 181
                                    

Sore itu Hyunjin benar-benar menjemputnya.

Tepat pukul 4 sore, sesuai dengan rencana yang telah mereka sepakati 2 hari yang lalu. Hyunjin datang ke rumah sakit untuk menjemput Jeongin.

Awalnya Jeongin hanya ingin diberi tahu dimana lokasinya dan ia akan datang sendiri bersama Bangchan. Tapi ternyata sang kekasih sedang ada jadwal mendadak, ia pun berniat akan berangkat sendiri, tapi Hyunjin menawarkan untuk berangkat bersama karena pria itu bilang bahwa ia juga ingin berkunjung ke tempat peristirahatan kekasihnya lamanya.

"Jihoo tidak ikut?" tanya Jeongin setelah mendaratkan tubuhnya pada jok penumpang.

"Tidak, dia sedang tidur. Mungkin lelah karena sekolahnya mengadakan pentas seni hari ini"

Mendengarnya Jeongin hanya menganggukkan kepala. Tak tahu harus berbicara apa karena pikirannya yang terpecah belah. Jujur saja, sebenarnya ia merasa gugup. Mungkin karena lama tak jumpa, atau mungkin karena ia merasa tak pantas untuk bertemu mereka. Jeongin bahkan sudah merasakan ini ketika mobil yang ditumpanginya mulai melaju.

Tapi lain halnya dengan Hyunjin, pria itu terlihat lebih santai. Malahan hatinya sudah berbunga sejak awal, tak sabar ingin bertemu cintanya. Hyunjin bahkan tak pernah tahu hal lain apa yang bisa membuatnya segila ini walau hanya bertemu dengan guci yang berisikan abu kekasihnya.

Setibanya disana, Hyunjin membiarkan Jeongin melangkah lebih dulu. Didepan sudah ada banyak rak kaca dan ketiganya bukan orang yang asing untuk mereka.

Hyunjin berdiri satu langkah dibelakang Dokter Kim. Menatap pemuda itu yang meraih rak didepannya dengan tangan gemetar. Hyunjin belum tahu pasti, tapi ia sudah mulai menerka-nerka. Entah dugaannya benar atau salah.

"B-bunda.. ayah.." suaranya tercekik. Rindu, rasanya rindu sekali karena mungkin sudah lebih dari belasan tahun ia tak menyapa mereka. Terlalu bodoh, terlalu banyak rasa iri yang memakan hatinya hingga tak tahu bahwa kedua orang tuanya sudah berada disini sekarang.

Jeongin merasakan pertahanannya mulai runtuh, ingin sekali membuka kacanya dan mengambil sebuah foto kedua orang tuanya yang tersenyum disana lalu memeluknya erat. Tapi ia tak bisa, atau mungkin lebih tepatnya, ia tak pantas.

"Maaf karna baru menemui kalian sekarang" ujarnya dengan suara parau. Jeongin beralih menuju sisi kiri. Nama 'Yang Jeongin' yang terukir pada marmer tertangkap oleh matanya. Ia ingat betul bagaimana dirinya begitu membenci sosok yang ada disana, tapi sekarang, ia pun tak tahu hilang kemana perasaan bencinya.

Sadar diri bahwa ia sudah dewasa, sadar diri bahwa tak ada yang perlu dikesalkan.

"Jeongin, maafin kakak"

Jeongin nyaris saja merosot jika saja Hyunjin tidak datang dan menangkapnya dari belakang. Pria itu tak berkata apa-apa selain menanyakan apakah ia baik-baik saja atau tidak.

Tampilannya kacau saat ini, jauh lebih kacau dibandingkan malam itu; saat Hyunjin yang tanpa sengaja bercerita padanya bahwa orang tua dan adiknya telah tiada. Ia pun tak sadar sudah berapa lama mereka ada diposisi ini, dengan Jeongin yang bersimpuh dilantai dan Hyunjin yang senantiasa memegangi bahunya.

Berulangkali mengucapkan kata maaf, menangis hingga dadanya terasa sesak. Mungkin Jeongin bisa berakhir pingsan jika saja Hyunjin tak menyadarkannya untuk kembali pulang.

Cahaya dari luar jendela sudah berubah warna dan seluruh lampu ruangan sudah dinyalakan oleh penjaga. Hyunjin tak mau berakhir terkunci dari luar dan bermalam disini. Maka ia pun berniat membujuk Jeongin untuk segera beranjak.

"Jeongin, sudah?"

Yang ditanya masih sesegukan, tapi kepalanya mengangguk. Hyunjin membawanya untuk berdiri kemudian menghapus air matanya dengan sapu tangan. Memberikan benda itu pada Jeongin setelahnya.

[II] remind. ♡「hyunjeong」Where stories live. Discover now