Aku Mantan Pasien Rumah Sakit Jiwa

38.2K 3.2K 237
                                    

Aku hanyalah seorang mantan pasien rumah sakit jiwa. Orang-orang mengataiku gila dan mulai menjauhiku. Aku sendirian, memeluk luka, berada dalam gelap tak tentu arah. Aku hilang dan tersesat, segalanya terenggut dariku. Yang tersisa hanyalah luka, yang selalu menghantuiku tak tentu waktu.

Di kepalaku, mereka sering berbicara, suara-suara bising, membuat kepalaku hampir pecah, tapi selalu kupercayai kebenarannya, katanya ini semacam waham. Aku lelah, tak ada kesempatan untuk menyerah. Dokter bilang, aku harus rajin tersenyum seusai pulang dari rumah sakit jiwa, katanya aku berharga dan layak untuk bahagia. Tapi, tak kunjung kutemukan semuanya. Hanya kehampaan yang semakin merajalela.

"Rana gila, Mas. Dia harus dibawa ke dokter jiwa."

"Keponakanku tidak gila, Resti! Dengar itu baik-baik."

"Dia butuh pertolongan!"

"Tidak! Kita ruqyah saja."

"Mas, dengarkan aku! Rana butuh pertolongan dokter, bukan ruqyah."

"Kamu yang harusnya menurut denganku."

Suara-suara itu terus mengurungku. Membuatku tidak bisa beranjak, aku terdiam, benar-benar kehilangan suaraku. Gila, gila, gila. Aku gila, katanya. Tapi, om memintaku diruqyah, sementara tante ingin aku dikirim ke rumah sakit jiwa. Pada akhirnya, aku menjalani keduanya.

"Rana, kamu tidak sendiri, kamu harus ingat itu. Kamu layak bahagia, kamu berharga, Rana."

Seseorang mengucapkan kalimat magis itu, lagi. Dia seorang laki-laki, berusia sekitar tiga puluh tahunan, namanya Dokter Rawindra. Dia seorang psikiater di rumah sakit jiwa ini, perawat di sini biasa memanggilnya Dokter Windra, aku ikut saja. 

Hari ini, aku sedang kontrol ke rumah sakit jiwa, bertemu Dokter Windra lagi. Minggu depan, aku masuk kuliah, setelah menunda kuliah selama satu tahun, untuk menjalani pemulihan jiwaku yang sedang sakit. Tante bilang, aku harus menemui Dokter Windra dulu sebelum memulai kuliah.

"Saya berharga," kataku pelan, mungkin saja Dokter Windra tidak mendengarnya begitu jelas.

"Iya, kamu berharga, Rana. Jangan merasa buruk lagi, kamu tidak boleh kembali ke masa-masa gelap itu. Duniamu belum berakhir, kamu masih memiliki banyak hal yang harus kamu lakukan."

Aku mengangguk, meski tak begitu yakin. Memang, siapa yang hendak kuperjuangkan dan kubanggakan? Kedua orang tuaku mati, mereka terbunuh di depan mataku, aku? Sekarang hanya menjadi benalu di rumah Om dan Tante. Meski mereka menerima kehadiranku, tolong jangan lupakan reaksi sepupuku, mereka menekanku setiap hari, katanya aku hanya benalu tidak berguna. Tapi, mereka lupa, aku ini mantan pasien rumah sakit jiwa, perasaanku ikut mati bersamaan dengan peristiwa mengerikan yang tak lagi ingin kuingat.

"Obatnya rajin diminum ya, Rana?"

"Iya."

Dokter Windra tampak menghela napas, memberikan tatapan hangat kepadaku. Laki-laki ini memang lembut sekali, begitu sabar menghadapi orang-orang tidak waras sepertiku. 

"Kamu tidak gila, Rana. Ingat itu ya?"

Aku mengangguk--lagi. Iya, aku tidak gila, hanya menderita trauma pasca kejadian mengerikan di hidupku dan depresi berat, tapi tetap saja, aku mantan pasien rumah sakit jiwa, enam bulan aku di sini. Gila pun tidak masalah, bukankah semua manusia di dunia ini memiliki tingkat kegilaannya masing-masing?

"Dokter, saya mau pulang," kataku lagi, sesi konselingku telah berakhir. Tidak mungkin aku terus di sini.

"Kamu sendirian?"

Aku menggeleng, "sama supirnya Om."

"Ya, sudah. Hati-hati."

"Iya, terima kasih."

Aku beranjak dari ruangan dokter Windra, berjalan dengan pikiran yang belum sepenuhnya penuh. Mendadak rindu kepada orang tuaku. Rasa sesak itu kembali lagi, menyakitkan, seperti menikamku erat-erat.

Mengamati sekitar rumah sakit ini, di sini banyak jiwa-jiwa penuh luka, mereka sedang kehilangan hidupnya, dan dalam tahap untuk memperjuangkan hidupnya agar pulih. Aku, pernah ada di posisi itu. Menghela napas, aku melanjutkan langkahku, mataku memandang sekitar, tak sengaja berserobok dengan seorang laki-laki berkemeja biru, dengan sepatu berwarna putih membalut kakinya. Dia menatapku sekilas, sebelum hilang di balik ruangan dokter Windra. Mungkin, dia sama sepertiku? Jiwa-jiwa sakit yang sedang mencari pertolongan?

to be continue

Hi, untuk menemani kamu membaca cerita ini, kamu bisa dengerin Podcast RisCeriTa di Spotify ya. Cukup klik, link di pojok kanan bawah. Happy Listening n happy reading!

Katanya, Aku BerhargaWhere stories live. Discover now