Forewords

7.8K 536 54
                                    

"Kapan kiranya Tuan hendak melaksanakannya?"

Pemuda itu terdiam sejenak, menatap tangannya sendiri—memikirkan sesuatu yang mustahil ditebak lawan bicaranya dibalik wajahnya yang dingin dan steril. Matanya berwarna biru gelap, seperti langit malam yang cerah tanpa bintang. Malam cerah di puncak musim panas ketika anak-anak saling bergandengan tangan mengelilingi api unggun membakar marshmallow dan menyanyikan lagu kemah yang ceria.

Namun mata itu tidak memiliki keceriaan sama sekali—setenang permukaan danau, emosinya tidak terbaca, tidak ada satu pun kerutan atau kilat yang menandakan emosi di wajahnya. Dia begitu tak tersentuh dan menakutkan dalam ketenangannya yang agung. Dia tahu apa yang sedang dilakukannya.

Dia mendesah, melepaskan simpul tangannya dan menatap isi ruangan yang sedang mentapnya selayaknya pemuja terhadap Tuhan. Menunggu perintahnya, menunggu arahan dan keputusannya. Mereka berkumpul di sebuah ruangan besar yang remang-remang dengan suara tetesan air di kejauhan—udara terasa lembab dan berat oleh uap air dan menyesakkan oleh ketegangan.

Di luar sana, malam bersinar dengan cerah dalam balutan cahaya bulan purnama. Namun mereka tidak berdansa di bawah siraman cahaya bulan atau berkemah memanggang marshmallow, alih-alih mereka bernaung di bawah atap dan mendengarkan keputusan yang akan menyelesaikan penderitaan mereka semua selama berabad-abad lamanya. Betapa lelah dan suntuknya mereka berada di bawah tekanan, tidak bisa bergerak dengan bebas seraya terus-menerus dalam diam mencoba mencari celah untuk meloloskan diri. Menyusun rencana demi rencana, mempraktikannya dan akhirnya menemukan yang terbaik.

"Aku sudah mempersiapkan semuanya, kalian tidak usah cemas." Katanya sehalus beledu—mengalir seindah aliran air sungai yang tenang dan menyejukkan. Seluruh ruangan menghembuskan napas yang mereka tahan sejak tadi. "Dia tidak akan sanggup menahannya. Aku sudah merencanakan ini begitu lama, egoku tidak akan sanggup menanggungnya jika ini gagal."

Dia melambaikan tangannya, membentuk sebuah pesona halus berwarna biru gelap yang menampilkan huruf-huruf rune kuno yang mengambang seindah angsa di udara; dia menggerakkan tangannya dan huruf-huruf itu bergerak sesuai dengan irama tangannya sebelum dia mengibaskan tangannya dan rune itu lenyap menjadi asap keperakan.

"Kita menyerang dengan penuh perhitungan," katanya. "Biarkan Kim Taehyung berpikir bahwa dia sudah berhasil mencabut kita hingga ke akar. Biarkan dia menikmati masa-masa kebebasannya yang fana. Dan setelah saatnya tiba, kita akan memberitahunya siapa yang berkuasa."

"Aku akan menyamar menjadi manusia dengan rune yang kita sempurnakan kemarin sehingga dia tidak akan mengenaliku sampai rencana kita berjalan dengan mulus." Dia menambahkan dengan suara mendengkur halus yang membuai pendengaran seluruh pengikutnya. Mustahil mengabaikan betapa indah dan menenangkannya suara itu. "Aku sudah tahu siapa sasaran kita dan aku akan mempertemukannya dengan Taehyung untuk mempermudah rencana kita."

"Semua rune-rune dan ramuan yang kita persiapkan untuk rencana ini sudah kubawa. Aku tidak akan mengecewakan kalian,"

Dia menatap seluruh penghuni ruangan yang menatapnya dengan semangat optimis di mata mereka. Tidak banyak, ada sepuluh orang yang saat ini mendengarkan pidatonya tapi sepuluh orang sangat cukup baginya untuk menjalankan rencana yang sudah disusunnya selama berabad-abad. Dia harus memenangkan ini, sesederhana karena tidak ada kata gagal dalam rencananya.

Karena Kim Taehyung harus merasakan apa yang telah dia perbuat pada mereka semua.

"Tikus yang terlalu lama bersembunyi di dalam tanah biasanya akan terkejut oleh sinar matahari, bukankah begitu?" kata pemimpin mereka lagi dengan suara mendayu-dayu yang lembut. "Maka, sudah saatnya kita mengajak tikus ini berjalan-jalan dan meliat seberapa banyak dunia mulai berkembang dan bahwa dia bukan lagi yang terkuat di dunia ini."

Lalu dia berdiri, mengibaskan jubahnya yang berdesir lalu mengangkat chalice yang ada di sisi kursinya. "Untuk kita semua," katanya menatap chalice yang terisi anggur merah beraroma manis yang bergolak di dalam cekungan gelas merespon gerakannya. "Mari kita mulai perjamuan malam ini sebelum besok, dua dari kita akan melaksanakan rencana tahap satu. Mari Para Saudara, kita menikmati malam ini. Malam menuju kebangkitan kita."

Dia menggoyangkan chalice-nya, seluruh ruangan mengikutinya dan kemudian dia menurunkan gelas itu ke bibirnya, meneguk isinya dan membiarkan cairan manis itu membasuh lehernya yang kering. Menyuntikkan semangat dan adrenalin ke seluruh pembuluh darahnya karena dia tahu, dia akan memenangkan pertarungan ini.

Dia tersenyum.

.

"Kau ingin kabar menarik, tidak?"

Pemuda itu berdiri di bawah cahaya bulan, kulitnya berkilauan tersiram cahaya bulan. Dia menggunakan tuksedo kencang yang diseterika licin hingga binatang mungkin akan tergelincir di permukaannya. Dia melepaskan jubah yang digunakannya untuk menyamar dan melemparkannya ke tanah, mengabaikannya seraya melangkah dengan ponsel menempel di telinganya. Dia meludahkan anggur merah yang diminumnya tadi selama pertemuan dan bergidik akan rasanya yang aneh.

Di seberang sana, dia mendengar suara minyak yang mendesis melalui speaker telepon dan membayangkan daging yang sedang digoreng. Dia mengernyit membayangkan lemak dari daging dan minyak yang digunakannya. "Kau pakai olive oil, kan?" tanyanya dengan hidung berkerut menahan jijik yang nampak agung di wajahnya yang seindah pahatan.

"Cerewet." Balas suara di seberang sana. "Berita apa yang kaumiliki? Jika itu tentang kehidupan lamaku, maka aku tidak tertarik."

"Sungguh?" balas pemuda itu berhenti di ujung jalan dan mengamati beberapa pemuda yang lalu-lalang setelah pulang bekerja. Malam sudah larut namun anak-anak muda masih berkeliaran di jalanan seolah hal paling berbahaya di jalanan adalah lalu-lintas dan pencurian. "Kau tidak akan menyesal?"

"Sama sekali tidak."

"Baiklah," katanya ringan dan mengendikkan bahu. Matanya menemukan mangsanya, seorang pemuda yang baru saja turun dari bis dan sedang mengunyah permen karet dengan headphone di telinganya. Nampak sehat dan bersih, dia bisa mencium aroma parfum dan keringatnya yang lembut dari kejauhan. "Jika terjadi sesuatu, kau harus membayar sangat mahal untuk memanggilku dan meminta bantuanku."

"Kenapa pula aku membutuhkan bantuanmu?"

Mendenguskan senyuman, pemuda itu mengendikkan bahu. Kecongkakan ini. "Yah, entahlah, Kim Taehyung. Apa yang mungkin kaubutuhkan dari kakak angkatmu? Aku selalu yakin kau sudah mandiri sekarang." Katanya mengikuti pemuda itu dengan gerakan halus tanpa suara—mudah saja untuknya. "Sangat mandiri hingga aku kesepian karena tidak ada lagi yang merengek bantuan padaku."

"Berhentilah bersikap dramatis, Seokjin." Balas suara di seberangnya. "Aku akan makan malam. Kau carilah seseorang untuk makan malam."

"Sebenarnya ini belum hariku makan, tapi beberapa makanan ringan tidak ada salahnya," dia berbelok ke sudut jalan yang dilalui pemuda itu. Jalanan terang karena cahaya bulan tapi dia tidak mempermasalahkannya. Dia akan melakukannya dengan cepat. "Sudah, ya, kuharap kau benar-benar tidak akan menyesal karena menolak info dariku."

"Tentu, tentu. Sampai ketemu seratus tahun lagi."

Seokjin tersenyum dingin. "Setahun lagi, Taehyung. Kita akan bertemu lagi dalam satu tahun." Tandasnya lalu mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban adiknya dan melangkah ke bawah cahaya lampu dan melambai menarik perhatian ke arah pemuda yang sekarang menoleh dan menurunkan headphone-nya dengan sopan.

Dia tersenyum cerah dan penuh rasa bersalah saat menghampiri pemuda belia yang balas tersenyum ramah itu. "Hei, halo. Maaf, kurasa aku tersesat, bisakah kau membantuku?"

.

Welcome to Spellbound. Enjoy your ride.

Ire, xx

SpellboundWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu