Zombie Apocalypse 𖣘︎

49 16 8
                                    

A short story based on;
“What's our next strategy?”

“Our what?”

“Oh my God, we're all going to die.”

---

Mereka berlari, mencari tempat aman untuk bersembunyi. Peluh mengucur deras seiring jantung yang terus berdetak kencang. Salah satu dari mereka membelalak gembira, akhirnya mendapati satu ruangan yang bersih dan aman.

"Disini kosong! Kita bisa bersembunyi!" teriaknya.

Ketiga temannya menarik langkah menuju ruangan itu. Mereka mengunci pintu lalu keempatnya langsung terduduk di lantai. Sejujurnya, mereka tidak mengerti akan apa yang terjadi dan bagaimana bisa terjadi.

"John, kau masih memiliki air?"

John menggeleng. "Persediaan air kita sudah habis, Harley."

Harley membuang nafas. Kering sekali tenggorokkannya. Entah sudah berapa lama ia tidak merasakan rasa air segar.

"Apa aman bila kita beristirahat disini agak lama? Maksudku, kita sudah berapa hari tidak tidur dan kini mataku sudah berubah jadi mata panda."

John menjawab dengan nada pelan, "Entahlah, Dea. Kita tidak bisa mengambil resiko mereka akan menemukan kita."

Dea menjawab sembari menunjuk ke arah Gior, "Jadi kita harus meninggalkan Gior yang sudah tertidur pulas, begitu?"

John memijat pelipisnya. Ia sudah pusing karena harus bersembunyi dari kumpulan zombie yang memenuhi kota. Kini ia juga pusing karena kelakuan teman-temannya. Memang tak dapat John pungkiri, rasa lelah menggerogoti tubuh kala mereka harus berlari dan tidak tidur berhari-hari. Namun, mereka tidak bisa mengambil resiko untuk tetap di tempat ini. Karena cepat atau lambat para zombie akan menemukan mereka.

Dea hanya menghela nafas. Manik coklatnya menatap sekeliling. Ruangan ini sepertinya adalah laboratorium penelitian. Yang mengherankan, mengapa tidak ada zombie di ruangan ini? Menurutnya ini merupakan hal yang janggal. Para zombie sudah memenuhi hampir setiap gedung dan jalan raya kota mereka. Bagaimana sebuah laboratorium penelitian yang berada di pusat kota tidak disinggahi mereka?

Dea bangkit dan menelusuri ruangan tersebut. Ia yakin ada hal yang janggal. Dea berharap hal tersebut adalah suatu kejanggalan yang baik. Menemukan penawar zombie misalnya. Atau senjata pembunuh zombie. Sesampainya Dea di ujung ruangan, ia melihat sebuah pintu yang entah mengarah kemana. Hati nuraninya sudah berkata bahwa ini adalah hal yang buruk, akan tetapi otaknya tetap meminta untuk mengecek apa dibalik pintu tersebut. Yang seharusnya tidak ia lakukan.

Ketika ia membuka pintu tersebut, ia langsung membelalak. Pantas saja tidak ada zombie yang singgah di tempat ini, karena tempat ini adalah tempat singgahnya raja zombie---zombie pertama yang muncul di kota ini. Zombie itu menatap Dea, bersiap untuk menerkamnya. Dea langsung berlari, berteriak.

"Cepat kita harus pergi!"

Harley yang sedang memejamkan mata mengerjap, bertanya, "Ada apa? Mengapa kau tampak ketakutan?"

Belum sempat menjawab, raja zombie tersebut telah melangkah keluar. Menampakkan rupanya yang menjijikan dengan nanah hijau di sekujur tubuh. John dan Harley terkesiap, segera bangkit hendak melangkah keluar.

"Oi, Gior, bangun!"

Dengan suara serak dan setengah sadar Gior menjawab, "John, ada apa?"

"Kita harus segera pergi, bodoh!"

"Ada apa?"

Dea menampar pipi Gior, membuatnya tersadar. Ia sebetulnya hendak memaki tapi netranya terlebih dahulu menangkap sosok raja zombie yang sudah tak jauh dari mereka. Gior membelalak, ia segera bangkit.

Keempat remaja itu beranjak keluar tergesa-gesa. Masing-masing dari mereka menggenggam senapan sebagai alat pelindung diri. Walau sejujurnya cukup tak berguna, karena langkah para zombie hanya akan terhenti sejenak. Mereka tidak bisa dibunuh dengan cara seperti itu. Entah bagaimana cara membunuh mereka.

Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan segerombol zombie kelaparan. Dea mengumpat, karena ia yang menjaga bagian depan, ia langsung menembakkan peluru tepat ke arah mereka. Gadis itu langsung menyuruh ketiga temannya untuk berlari terlebih dahulu. Sebenarnya, hanya Dea yang bisa menggunakan senapan. Yang lainnya? Boro-boro!

Tanpa Dea sadari, saat ia sibuk memastikan ketiga temannya selamat, satu sosok menerkamnya dari belakang. Membuat dirinya tersungkur dan senapannya terlepas.

Gior yang melihat hal itu berteriak hendak menghampiri. Namun gerakannya dicegah oleh Harley. Manik Dea menatap lekat-lekat milik Gior. Seakan-akan ia sedang mengatakan untuk meninggalkan saja dirinya disana.

Dengan berat hati Gior melesat pergi, sembari sesekali ia menatap Dea yang dikerumuni dan dimakan organnya oleh para zombie. Untuk ketiga kalinya, ia harus melihat sahabatnya tewas dengan cara yang demikian (tidak betul-betul tewas sebenarnya, karena Dea akan segera berubah jadi zombie).

Walau tak seahli Dea, John bisa menghambat pergerakan para zombie sedikit. Kali ini ia yang membuka jalan. Namun, hal serupa terjadi pada dirinya. Naas sekali memang, hari ini Harley dan Gior kehilangan dua sahabatnya sekaligus. Gior mendapati sebuah bangunan hancur yang tampaknya aman untuk menarik nafas sejenak. Jadilah ia menarik tangan Harley menuju bangunan tersebut.

Mereka berdua terengah-engah, sembari sesekali mengusap peluh. Kehilangan dua sahabat di hari yang sama bukanlah hal yang menyenangkan, tentunya kalian mengerti akan hal itu bukan?

Gior mengalihkan atensinya menuju Harley. "Sekarang ... bagaimana? Apa yang harus kita lakukan? Apa strategi kita sekarang?"

Harley menautkan kedua alis, "Strategi ya?" Kemudian ia menggeleng tak tau.

"Bagus, kita berdua juga akan segera mati. Oh Tuhan."

Keduanya sudah pasrah. Diantara mereka berdua tak ada yang bisa menggunakan senapan. Mereka juga tak memiliki otak yang dikatakan pandai. Apakah Tuhan menghendaki mereka untuk ikut pergi bersama sahabatnya yang lain?

"Siapa disana? Kau manusia?" teriak seseorang dari ujung bangunan.

Harley menyahut, "Ya, kami manusia!"

Orang itu mendekat, masih dengan awas. Lengannya memegang sebuah alat yang mereka tidak tau apa gunanya. "Ternyata benar manusia. Ikutlah, kita akan ke tempat yang aman."

Gior menautkan kedua alis, "Tempat aman? Memangnya masih ada tempat yang aman?"

Orang itu mengangguk. "Tentu saja. Dan ah, omong-omong namaku adalah Rhea."

Harley dan Gior memutuskan untuk mengikuti Rhea. Mereka kira tidak ada manusia yang selamat, tapi ternyata masih ada. Mereka bertiga berjalan hingga mencapai bagian sebelah bangunan tersebut. Netra Harley dan Gior menangkap sebuah gedung yang dilindungi pagar-pagar tinggi dan dihiasi oleh meriam-meriam besar.

Rhea melangkah mendekat, berbicara melalui suatu alat. Katanya, "Aku menemukan manusia. Dua orang laki-laki dengan umur yang sama."

Pagar itu terbuka, menampakkan sebuah bangunan modern. Semua orang yang sedang beraktivitas mengalihkan atensinya kepada Harley dan Gior. Rhea menggerakkan tangan, memberi isyarat agar mereka mengikuti.

Harley dan Gior menghela nafas. Sepertinya Tuhan masih menyayangi mereka berdua.

---

Sepertinya cerita pendek kali ini panjang banget ya. Sebenarnya aku mau menyelipkan humor sedikit, tapi kebablasan jadi ga jadi, hehe.

Kalau ada yang mau request, bisa drop satu kata, kalimat, atau paragraf beserta genre ceritanya ya! Akan ku usahakan untuk ditulis.

Terimakasih!

Just WriteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang